Tuesday, 1 April 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA


 
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Dalam literatur hukum perburuhan yang ada, riwayat hubungan perburuan indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat suram yakni zaman perbudakan, rodi, dan poenale sanksi.
Membicarakan sejarah hukum perburuhan sama artinya dengan membicarakan dengan sejarah hubungan perburuhan di Indonsia sejak zaman penjajahan sampai dengan masa sekarang ini. Dalam berbagai literatur tentang ini yang paling banyak dibicarkan adalah riwayat perburtuhan pada zaman penjajahan Belanda, sedangkan pada zaman penjajahan Jepang amat sedikit dijumpai dalam sejarah hukum perburuhan. Hal ini kemungkinan besar karena pemerintah Jepang di Indonesia bertujuan mencari tentara untuk melawan sekutu, disamping itu tentu saja bertujuan politis lainnya sehingga mengenai masalah perburuhan tidak diperhatikan sama sekali.Oleh karena itu dalam membicarakan masalah ini, dibagi dalam 2 bagiam yaitu jaman penjajahan, dan jaman setelah kemerdekaan.
2.      Permasalahan
1)      Bagaimana sejarah perkembangan hukum perburuhan pada zaman penjajahan?
2)      Bagaimana sejarah perkembangan hukum perburuhan pada zaman setelah kemerdekaan?
3.      Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini tentang sejarah perkembangan hukum perburuhan di Indonesia adalah agar semua mahasiswa dapat mengetahui  sejarah hukum perkembangan buruh di Indonesia baik pada masa penjajahan maupun setelah masa kemerdekaan
B.     PEMBAHASAN
1.      Perbudakan
Pada zaman perbudakan ini,orang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain,yaitu para perbudak tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya tidak ada, yang mereka miliki hanya kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban menuruti segala perintah, menuruti segala petunjuk dan aturan dari pihak pemilik budak.pemilik budak ini adalah salah satunya pihak dalam hubungan antara pekerja dan pemberi pekerjaan, yang mempunya segala hak :
a.       hak meminta pekerjaan
b.      hak mengatur pekerjaan
c.       hak memberi perintah, dan hak lainnya
Dalam praktek menurut perpustakaan kedudukan para budak di indonesia jika dibandingkan dengan di negara negara terdahulu adalah agak lumayan ,berkat aturan tata susila masyararakat indonesia yang tidak sekejamsepert di negara lain itu.[1]
Sebagai bukti bahwa dalam praktek perlakuan terhadap para budak itu tidak sangat mengerikan,ialah ketika pemerintah hindia belanda memulai ikut mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817,tidak mengotak atik hubungan antara para budak dengan pemiliknya tetapi hanya mengadakan karanga memasukkan budak ke pulau jawa yang arti membatasi bertambahnya budak lain dari pada kelahiran
Juga peraturan-peraturan berikutnya seperti:
a.       Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1819
b.      Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak dari tahun 1820
c.       Peraturan larangan mengangkut budak yang masih kanak-kanak dari tahun 1829
d.      Peraturan tentang pendaftran anak budak dari tahun 1833
e.       Peraturan tentang penggantian nama para budak dari tahun 1834
f.       Peraturan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan budak dari tahun 1848
Semuanya tidak meyinggung nasib yang sangat menyedihkan dari pada budak sehingga memerlukan segera campur tangan dari para pihak penguasa.persoalan hubungan antara par budak dan pemiliknya itu memang tidak terletak pada baik atau buruknya perlakuan para pemiliknya itu,sehingga pesoalan yang juga terletak pada mengadakan peruran yang baik mengenai hubnungan itu,tetapi terletak pada hakekat perbudakan itu sendiri satu-satunya penyelesainnya ialah mendudukkan para budak itu pada kedudukan manusia merdeka,baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomi.pihak yang berpendirian bahwa penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran besar terhadap hak para pemilik budak ,masih bekuasa para pihak lainya yang berpendapat bahwa adalah kezaliman yang lebih besar terhadap kemanusiaan merenhdakan manusia menjadi barang milik.[2]
Baru pada tahun 1854 dalam regeringreglemaent 1854 pasal 115 sampai tahunn117 yang kemudian menjadi pasal-pasal 169 sampai 171 is 1926 dengan tegas di tetapkan pengahapusan perbudakan?pasal 115 menetapkan : “paling  lambat 1 januari 1860 perbudakan di seluruh  indonesia dihapusakan” dan selanjutnya memerintahkan supaya diadakan peraturan-peraturan persiapan  dan pelaksanaan secara setingakat demi setingkat megenai penghapusan itu secara ganti rugi sebagai akibat penghpusan itu.[3]
Sebab-sebab terjadinya perbudakan di indonesia:
a.       Kerajaan-kerajaan kecil yang masa silam banyak terdapat ditanah air kita sering melakukan peperangan, raja yang terkalahkan diwajibkan secara teratur mengirimkan upeti serta budak-budak(rakyat dari kerajaan yang kalah)
b.      Kepala suku dan orang-orang yang dianggap kuat selalu menggunakan karismanya sehingga banyak penduduk yang lemah mengabdi kepada mereka. Yang lama-kelamaan menjadi terikat dan harus tunduk pada perintahnya.
c.       Adanya saudagar-saudagar masa silam yang memang memelihara dan menjamin kelangsungan hidup orang-orang yang ekonominya sangat minim, mereka seakan-akan telah diberi dari keluarga/sukunya sehingga nasib orang tersebut menjadi sangat tergantung dan terikat.
d.      Adanya orang-orang yang sangat menderita sehingga merasa kurang mampu untuk hidup diatas kaki sendiri dan menyerahkan nasibnya kepada orang-orang tertentu yang tingkat kesehteraan hidupnya sangat baik.[4]
2.      Zaman Rodi (kerja paksa)
Rodi merupakan kerja paksa yang dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak penguasa atau pihak lain dengan tanpa pemberian upah, dilakukan di luar batas peri kemanusiaan. Pada kerajaan-kerajaan di Jawa Rodi dilakukaan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum seperti: pembuatan dan pemeliaharaan jalan, jembatan dan sebagainya.
Compeni pandai menggunakan rodi ini untuk kepentingan sendiri. Rodi digunakan untuk segala macam keperluan seperti mendirikan pabrik, jalan, untuk pengangkutan barang dan sebagainya, untuk pekerjaan lainnya bagi kepentingan pegawai compeni.[5]
Sehubungan dengan rodi ini ada suatu konvensi ILO yang perlu mendapat perhatian kita, konvensi Nomor 29 yang telah diratifikasi oleh pemerintahan Hindia Belanda, dengan S. 1933 Nomor 261. Pada intinya konvensi tersebut berisikan:
a.       Mewajibkan setiapa negara anggota ILO, untuk menghapuskan Rodi secepat mungkin,
b.      Pemerintah tidak boleh mengizinkan adanya rodi untuk kepentingan perorangan, perusahaan/perkumpulan,
c.       Hanya orang laki-laki yang sehat dan berumur antara 18-45 tahun yang boleh dikenakan wajib Rodi, kecuali terhadap guru murid-murid sekolah dan pejabat pemerintah pada umumnya,
d.      Harus dilakukan segala macam tindakan untuk menjaga kesehatan pekerja Rodi.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan konvensi ILO seperti tersebut maka Rodi ini di Hindia Belanda secara formal di hapuskan mulai tanggal 1 februari 1938.[6]
3.      Zaman poenale sanctie
Sejak tahun 1819 dihindia belanda sudah terdapat yang disebut dengan hubungan perburuan, yaitu hubungan antara buruh dan majikan secara biasa tanpa paksaan siapapun. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ketentuan S.1819 No.10 yang menentukan bahwa:
a.       Setiap perjanjian kerja harus dibuat secara tertulis dan harus didaftarkan dikantor keresidenan.
b.      Pendaftaran baru akan diterima apabila ternyata dalam perjanjian kerja tersebut tidak terdapat unsur-unsur pemaksaan, ancaman, pemerasan, dan sebagainya.
c.       Pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerja itu harus dilakukan oleh residen dan para pengawas pajak terutama mengenai atau mencegah timbulnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perjanjian-perjanjian kerja tersebut.
d.      Jangka waktu perjanjian paling lama 5 tahun.
Walaupun dalam perjanjian-perjanjian kerja yang diadakan oleh pengusaha dengan kepala desa diadakan ketentuan tentang syarat-syarat kerja, mengenai:
a.       Lamanya berlaku perjanjian minimal 5 tahun.
b.      Besarnya upah yang diberikan.
c.       Perumahan dan pangan serta macam pekerjaan yang harus ditangani.[7]
Namun karena semakin banyaknya tenaga kerja yang dikirim oleh kepala desa semakin banyak pula uang kehormatan yang akan diterimanya maka secara tidak sadar kepala desa dan para pembantunya melakukan sistem pemberasan, pemaksaan, dan perbuatan diluar kelayakan. Sehingga banyak yang mersa ditipu dan melarika diri dari tempat pekerjaanya.
Untuk mengatasi hal ini maka dikeluarkan Algemene politie strafreglement 1872 No.111, yang menentukan “ seorang yang tanpa alasan yang dapat diterima meninggalkan atau menolak melaksanakan pekerjaannya dapat dipidana dengan denda antara 16-25 rupiah atau denda rodi sampai 7-12 hari.
Dengan adanya ancaman pidana tersebut maka hunungan kerja ini disebut poenale sanctie, yang mendapat kecaman pedas dari staten general sehinggu aturan itu dicabut atahun 1879.
Berkaitan dengan poenale sanctie ini ada suatu aturan yang dinamakan Koeli Ordonantie tahun 1880 (Stb. Nomor 133 tahun 1880) yang pada intinya menentukan:
a.       Perjanjian kerja harus dilakukan secara tertulis untuk jangka waktu tiga tahun,
b.      Pekerja tanpa alasan apapun tidak diperkenankan memutuskan hubungan kerjanya secar asepihak,
c.       Perjanjian kerja harus terdaftar pada daerah setempat.
Untuk melindungi buruh maka penguasa diwajibkan:
a.       Memperhatikan nasib buruh/para tenaga kerjanya dengan sebaik mungkin,
b.      Memberikan upah yang layak pada waktunya yang telah tertentu,
c.        Memberikan papan, kemudahan pangan, kemudahan pengobatan, penyedian air untuk mandi dan minum,
d.      Mengembalikan tenaga kerja yang telah habis masa kerjanyake daerah asal dengan jaminan perongkosan sepenuhnya.[8]
4.      Zaman Penjajahan Jepang
Satu-satunya sejarah yang dapat di kemukakan adalah sauatu macam rodi yang disebut Romusha, yang dilakukan diluar batas kemanusiaan, hanya mementingkan pemerasan tenaga kerja melulu tanpa memperhatikan keadaan tenaga kerjanya. Dengan Romusha ini sistem kerja dilakukan secara terus menerus, tanpa upah, makanan yang di berikan kepada buruhpun sangat kurang sehingga tidak jarang tenaga kerja yang mati kelaparan atau di bunuh. Perburuhan yang paling mengganas dimana kebebasan buruh tidak ada sama sekali. Keadaannya sama seperti tawanan, yang bekerja selalu ada di ujung sangkur bala tentara jepang.[9]
5.      Zaman Setelah Kemerdekaan
Pada awal-awal kemerdekaan bangsa Indonesia keadaan hukum perburuhan tidaklah begitu berarti. Hal ini dapat diketahui karena orientasi pemerintah dan rakyat Indonesia pada waktu itu ditujukan kepada usaha untuk mempertahankan emerdekaan negara Indonesia yang ingin direbut kembali oleh pemerintah Belanda, sehingga tidak ada sama sekali peraturan-peraturan yang dapat dikeluarkan untuk mengubah keadaan perburuhan pada masa itu, dengan demikian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan untuk mencegah kekosongan hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda khususnya. Meskipun dalam UUD 1945 secara tegas dinyatakan dalam pasal 27 ayat 2 dan pasal 28, yang menyangkut ketentuan perburuhan terdapat pada buku III Bab VII A KUHPerdata (pasal 1601 a sampai 1603 z).[10]
Pada tahun 1948 keadaan hubungan perburuhan berubah hal ini terlihat dari usaha pemerintah yang mulai memperhatikan nasib para buruh / pekerja dengan dikeluarkan nya berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-undang nomor 12 tahun 1948 yang merupakan undang-undang kerja yang diperkuat dengan undang-undang nomor 1 tahun 1951 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Undang-undang nomor 23 tahun1948 tentang pengawasan perburuhan yang kemudian diperkuat dengan undang-undang nomor 3 tahun 1951 dinyatakan berlaku dengan bagi seluruh Indonesia.[11]


C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pada zaman perbudakan ini,orang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain,yaitu para perbudak tidak mempunyai hak apapun ,bahkan hak atas hidupnya tidak ada,yang mereka miliki hanya kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban menuruti segala perintah, menuruti segala petunjuk dan aturan dari pihak pemilik budak.
Rodi merupakan kerja paksa yang dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak penguasa atau pihak lain dengan tanpa pemberian upah, dilakukan di luar batas peri kemanusiaan. Pada kerajaan-kerajaan di Jawa Rodi dilakukaan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum seperti: pembuatan dan pemeliaharaan jalan, jembatan dan sebagainya.
Sejak tahun 1819 dihindia belanda sudah terdapat yang disebut dengan hubungan perburuan, yaitu hubungan antara buruh dan majikan secara biasa tanpa paksaan siapapun. Pada zaman ini adanya ancaman maka hubungan kerja ini disebut poenale sanctie, yang mendapat kecaman pedas dari staten general sehinggu aturan itu dicabut atahun 1879.
Pada awal-awal kemerdekaan bangsa Indonesia keadaan hukum perburuhan tidaklah begitu berarti. Hal ini dapat diketahui karena orientasi pemerintah dan rakyat Indonesia pada waktu itu ditujukan kepada usaha untuk mempertahankan emerdekaan negara Indonesia yang ingin direbut kembali oleh pemerintah Belanda, sehingga tidak ada sama sekali peraturan-peraturan yang dapat dikeluarkan untuk mengubah keadaan perburuhan pada masa itu, dengan demikian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan untuk mencegah kekosongan hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda khususnya.Pada tahun 1948 keadaan hubungan perburuhan berubah hal ini terlihat dari usaha pemerintah yang mulai memperhatikan nasib para buruh / pekerja dengan dikeluarkan nya berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-undang nomor 12 tahun 1948 yang merupakan undang-undang kerja yang diperkuat dengan undang-undang nomor 1 tahun 1951 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
2.      Saran
Dengan adannya undang-undang nomor 13 tahun 2003 di harapkan kepada kepemerintah agar lebih melindungi hak-hak buruh.


REFERENSI

Asikin Zainal. Dkk, Dasar-dasar hukum perburuan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2005.
Soepomo Iman, pengantar Hukum Perburuan, Djambatan, Jakarta, 2003.




[1] Iman Soepomo, pengantar Hukum Perburuan, Djambatan, Jakarta, 2003, Hal.14.
[2]Ibid., Hal.15
[3]Ibid., Hal.17
[4] Zainal Asikin. Dkk, Dasar-dasar hukum perburuan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal.10.
[5]Lalu husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2005, hal.3
[6] Zainal Asikin.Dkk, Op.cit., Hal.20.
[7]Ibid., Hal.20-21
[8]Ibid., Hal.22-23
[9]Ibid., Hal.26-27.
[10]Ibid., Hal.27
[11]Ibid., Hal.28

No comments:

Post a Comment