A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dalam literatur hukum perburuhan
yang ada, riwayat hubungan perburuan indonesia diawali dengan suatu masa yang
sangat suram yakni zaman perbudakan,
rodi, dan poenale sanksi.
Membicarakan sejarah hukum
perburuhan sama artinya dengan membicarakan dengan sejarah hubungan perburuhan
di Indonsia sejak zaman penjajahan sampai dengan masa sekarang ini. Dalam
berbagai literatur tentang ini yang paling banyak dibicarkan adalah riwayat perburtuhan
pada zaman penjajahan Belanda, sedangkan pada zaman penjajahan Jepang amat
sedikit dijumpai dalam sejarah hukum perburuhan. Hal ini kemungkinan besar karena
pemerintah Jepang di Indonesia bertujuan mencari tentara untuk melawan sekutu,
disamping itu tentu saja bertujuan politis lainnya sehingga mengenai masalah
perburuhan tidak diperhatikan sama sekali.Oleh karena itu dalam membicarakan
masalah ini, dibagi dalam 2 bagiam yaitu jaman penjajahan, dan jaman setelah
kemerdekaan.
2.
Permasalahan
1)
Bagaimana sejarah
perkembangan hukum perburuhan pada zaman penjajahan?
3.
Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan penulisan
makalah ini tentang sejarah perkembangan hukum perburuhan di Indonesia adalah
agar semua mahasiswa dapat mengetahui
sejarah hukum perkembangan buruh di Indonesia baik pada masa penjajahan
maupun setelah masa kemerdekaan
B.
PEMBAHASAN
1.
Perbudakan
Pada zaman perbudakan ini,orang
yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain,yaitu para perbudak tidak
mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya tidak ada, yang mereka miliki
hanya kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban menuruti segala perintah,
menuruti segala petunjuk dan aturan dari pihak pemilik budak.pemilik budak ini
adalah salah satunya pihak dalam hubungan antara pekerja dan pemberi pekerjaan,
yang mempunya segala hak :
a.
hak meminta pekerjaan
b.
hak mengatur pekerjaan
c.
hak memberi perintah,
dan hak lainnya
Dalam praktek menurut perpustakaan
kedudukan para budak di indonesia jika dibandingkan dengan di negara negara
terdahulu adalah agak lumayan ,berkat aturan tata susila masyararakat indonesia
yang tidak sekejamsepert di negara lain itu.[1]
Sebagai bukti bahwa dalam praktek
perlakuan terhadap para budak itu tidak sangat mengerikan,ialah ketika
pemerintah hindia belanda memulai ikut mengatur soal perbudakan ini pada tahun
1817,tidak mengotak atik hubungan antara para budak dengan pemiliknya tetapi
hanya mengadakan karanga memasukkan budak ke pulau jawa yang arti membatasi
bertambahnya budak lain dari pada kelahiran
Juga peraturan-peraturan berikutnya seperti:
a.
Peraturan tentang
pendaftaran budak dari tahun 1819
b.
Peraturan tentang
pajak atas pemilikan budak dari tahun 1820
c.
Peraturan larangan
mengangkut budak yang masih kanak-kanak dari tahun 1829
d.
Peraturan tentang
pendaftran anak budak dari tahun 1833
e.
Peraturan tentang
penggantian nama para budak dari tahun 1834
f.
Peraturan tentang
pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan budak dari tahun 1848
Semuanya tidak meyinggung nasib
yang sangat menyedihkan dari pada budak sehingga memerlukan segera campur
tangan dari para pihak penguasa.persoalan hubungan antara par budak dan
pemiliknya itu memang tidak terletak pada baik atau buruknya perlakuan para
pemiliknya itu,sehingga pesoalan yang juga terletak pada mengadakan peruran
yang baik mengenai hubnungan itu,tetapi terletak pada hakekat perbudakan itu
sendiri satu-satunya penyelesainnya ialah mendudukkan para budak itu pada
kedudukan manusia merdeka,baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomi.pihak yang
berpendirian bahwa penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran besar terhadap
hak para pemilik budak ,masih bekuasa para pihak lainya yang berpendapat bahwa
adalah kezaliman yang lebih besar terhadap kemanusiaan merenhdakan manusia
menjadi barang milik.[2]
Baru pada tahun 1854 dalam
regeringreglemaent 1854 pasal 115 sampai tahunn117 yang kemudian menjadi
pasal-pasal 169 sampai 171 is 1926 dengan tegas di tetapkan pengahapusan perbudakan?pasal
115 menetapkan : “paling lambat 1
januari 1860 perbudakan di seluruh indonesia dihapusakan” dan selanjutnya
memerintahkan supaya diadakan peraturan-peraturan persiapan dan pelaksanaan secara setingakat demi
setingkat megenai penghapusan itu secara ganti rugi sebagai akibat penghpusan
itu.[3]
Sebab-sebab terjadinya perbudakan di indonesia:
a.
Kerajaan-kerajaan
kecil yang masa silam banyak terdapat ditanah air kita sering melakukan
peperangan, raja yang terkalahkan diwajibkan secara teratur mengirimkan upeti
serta budak-budak(rakyat dari kerajaan yang kalah)
b. Kepala suku dan orang-orang yang dianggap kuat selalu
menggunakan karismanya sehingga banyak penduduk yang lemah mengabdi kepada
mereka. Yang lama-kelamaan menjadi terikat dan harus tunduk pada perintahnya.
c. Adanya saudagar-saudagar masa silam yang memang memelihara
dan menjamin kelangsungan hidup orang-orang yang ekonominya sangat minim,
mereka seakan-akan telah diberi dari keluarga/sukunya sehingga nasib orang
tersebut menjadi sangat tergantung dan terikat.
d.
Adanya orang-orang
yang sangat menderita sehingga merasa kurang mampu untuk hidup diatas kaki
sendiri dan menyerahkan nasibnya kepada orang-orang tertentu yang tingkat
kesehteraan hidupnya sangat baik.[4]
2.
Zaman Rodi (kerja paksa)
Rodi merupakan kerja paksa yang
dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak penguasa atau pihak lain dengan
tanpa pemberian upah, dilakukan di luar batas peri kemanusiaan. Pada
kerajaan-kerajaan di Jawa Rodi dilakukaan untuk kepentingan raja dan anggota
keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum
seperti: pembuatan dan pemeliaharaan jalan, jembatan dan sebagainya.
Compeni pandai menggunakan rodi
ini untuk kepentingan sendiri. Rodi digunakan untuk segala macam keperluan
seperti mendirikan pabrik, jalan, untuk pengangkutan barang dan sebagainya,
untuk pekerjaan lainnya bagi kepentingan pegawai compeni.[5]
Sehubungan dengan rodi ini ada
suatu konvensi ILO yang perlu mendapat perhatian kita, konvensi Nomor 29 yang
telah diratifikasi oleh pemerintahan Hindia Belanda, dengan S. 1933 Nomor 261.
Pada intinya konvensi tersebut berisikan:
a.
Mewajibkan setiapa
negara anggota ILO, untuk menghapuskan Rodi secepat mungkin,
b.
Pemerintah tidak boleh
mengizinkan adanya rodi untuk kepentingan perorangan, perusahaan/perkumpulan,
c.
Hanya orang laki-laki
yang sehat dan berumur antara 18-45 tahun yang boleh dikenakan wajib Rodi,
kecuali terhadap guru murid-murid sekolah dan pejabat pemerintah pada umumnya,
d.
Harus dilakukan segala
macam tindakan untuk menjaga kesehatan pekerja Rodi.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan
konvensi ILO seperti tersebut maka Rodi ini di Hindia Belanda secara formal di
hapuskan mulai tanggal 1 februari 1938.[6]
3.
Zaman poenale sanctie
Sejak tahun 1819 dihindia belanda
sudah terdapat yang disebut dengan hubungan perburuan, yaitu hubungan antara
buruh dan majikan secara biasa tanpa paksaan siapapun. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya ketentuan S.1819 No.10 yang menentukan bahwa:
a.
Setiap perjanjian
kerja harus dibuat secara tertulis dan harus didaftarkan dikantor keresidenan.
b.
Pendaftaran baru akan
diterima apabila ternyata dalam perjanjian kerja tersebut tidak terdapat
unsur-unsur pemaksaan, ancaman, pemerasan, dan sebagainya.
c.
Pengawasan terhadap
pelaksanaan perjanjian kerja itu harus dilakukan oleh residen dan para pengawas
pajak terutama mengenai atau mencegah timbulnya tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan perjanjian-perjanjian kerja tersebut.
d.
Jangka waktu
perjanjian paling lama 5 tahun.
Walaupun dalam perjanjian-perjanjian
kerja yang diadakan oleh pengusaha dengan kepala desa diadakan ketentuan
tentang syarat-syarat kerja, mengenai:
a.
Lamanya berlaku
perjanjian minimal 5 tahun.
b.
Besarnya upah yang
diberikan.
c.
Perumahan dan pangan
serta macam pekerjaan yang harus ditangani.[7]
Namun karena semakin banyaknya
tenaga kerja yang dikirim oleh kepala desa semakin banyak pula uang kehormatan
yang akan diterimanya maka secara tidak sadar kepala desa dan para pembantunya
melakukan sistem pemberasan, pemaksaan, dan perbuatan diluar kelayakan.
Sehingga banyak yang mersa ditipu dan melarika diri dari tempat pekerjaanya.
Untuk mengatasi hal ini maka
dikeluarkan Algemene politie strafreglement 1872 No.111, yang menentukan “
seorang yang tanpa alasan yang dapat diterima meninggalkan atau menolak
melaksanakan pekerjaannya dapat dipidana dengan denda antara 16-25 rupiah atau
denda rodi sampai 7-12 hari.
Dengan adanya ancaman pidana
tersebut maka hunungan kerja ini disebut poenale sanctie, yang mendapat kecaman
pedas dari staten general sehinggu aturan itu dicabut atahun 1879.
Berkaitan dengan poenale sanctie
ini ada suatu aturan yang dinamakan Koeli Ordonantie tahun 1880 (Stb. Nomor 133
tahun 1880) yang pada intinya menentukan:
a.
Perjanjian kerja harus
dilakukan secara tertulis untuk jangka waktu tiga tahun,
b. Pekerja tanpa alasan apapun tidak diperkenankan memutuskan
hubungan kerjanya secar asepihak,
c.
Perjanjian kerja harus
terdaftar pada daerah setempat.
Untuk melindungi buruh maka penguasa diwajibkan:
a.
Memperhatikan nasib
buruh/para tenaga kerjanya dengan sebaik mungkin,
b. Memberikan upah yang layak pada waktunya yang telah
tertentu,
c. Memberikan papan,
kemudahan pangan, kemudahan pengobatan, penyedian air untuk mandi dan minum,
d. Mengembalikan tenaga kerja yang telah habis masa kerjanyake
daerah asal dengan jaminan perongkosan sepenuhnya.[8]
4.
Zaman Penjajahan Jepang
Satu-satunya sejarah yang dapat di
kemukakan adalah sauatu macam rodi yang disebut Romusha, yang dilakukan diluar
batas kemanusiaan, hanya mementingkan pemerasan tenaga kerja melulu tanpa
memperhatikan keadaan tenaga kerjanya. Dengan Romusha ini sistem kerja
dilakukan secara terus menerus, tanpa upah, makanan yang di berikan kepada
buruhpun sangat kurang sehingga tidak jarang tenaga kerja yang mati kelaparan
atau di bunuh. Perburuhan yang paling mengganas dimana kebebasan buruh tidak
ada sama sekali. Keadaannya sama seperti tawanan, yang bekerja selalu ada di
ujung sangkur bala tentara jepang.[9]
5.
Zaman Setelah Kemerdekaan
Pada awal-awal kemerdekaan bangsa Indonesia
keadaan hukum perburuhan tidaklah begitu berarti. Hal ini dapat diketahui
karena orientasi pemerintah dan rakyat Indonesia pada waktu itu ditujukan
kepada usaha untuk mempertahankan emerdekaan negara Indonesia yang ingin
direbut kembali oleh pemerintah Belanda, sehingga tidak ada sama sekali
peraturan-peraturan yang dapat dikeluarkan untuk mengubah keadaan perburuhan
pada masa itu, dengan demikian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan untuk
mencegah kekosongan hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda khususnya. Meskipun dalam UUD 1945 secara tegas
dinyatakan dalam pasal 27 ayat 2 dan pasal 28, yang menyangkut ketentuan
perburuhan terdapat pada buku III Bab VII A KUHPerdata (pasal 1601 a sampai
1603 z).[10]
Pada tahun 1948 keadaan hubungan
perburuhan berubah hal ini terlihat dari usaha pemerintah yang mulai
memperhatikan nasib para buruh / pekerja dengan dikeluarkan nya berbagai
peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-undang nomor 12 tahun 1948 yang
merupakan undang-undang kerja yang diperkuat dengan undang-undang nomor 1 tahun
1951 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Undang-undang nomor 23
tahun1948 tentang pengawasan perburuhan yang kemudian diperkuat dengan
undang-undang nomor 3 tahun 1951 dinyatakan berlaku dengan bagi seluruh
Indonesia.[11]
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pada zaman perbudakan ini,orang
yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain,yaitu para perbudak tidak
mempunyai hak apapun ,bahkan hak atas hidupnya tidak ada,yang mereka miliki hanya
kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban menuruti segala perintah, menuruti
segala petunjuk dan aturan dari pihak pemilik budak.
Rodi merupakan kerja paksa yang
dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak penguasa atau pihak lain dengan
tanpa pemberian upah, dilakukan di luar batas peri kemanusiaan. Pada
kerajaan-kerajaan di Jawa Rodi dilakukaan untuk kepentingan raja dan anggota
keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum
seperti: pembuatan dan pemeliaharaan jalan, jembatan dan sebagainya.
Sejak tahun 1819 dihindia belanda
sudah terdapat yang disebut dengan hubungan perburuan, yaitu hubungan antara
buruh dan majikan secara biasa tanpa paksaan siapapun. Pada zaman ini adanya
ancaman maka hubungan kerja ini disebut poenale sanctie, yang mendapat kecaman
pedas dari staten general sehinggu aturan itu dicabut atahun 1879.
Pada awal-awal kemerdekaan bangsa
Indonesia keadaan hukum perburuhan tidaklah begitu berarti. Hal ini dapat
diketahui karena orientasi pemerintah dan rakyat Indonesia pada waktu itu
ditujukan kepada usaha untuk mempertahankan emerdekaan negara Indonesia yang
ingin direbut kembali oleh pemerintah Belanda, sehingga tidak ada sama sekali
peraturan-peraturan yang dapat dikeluarkan untuk mengubah keadaan perburuhan
pada masa itu, dengan demikian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan untuk
mencegah kekosongan hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda khususnya.Pada tahun 1948 keadaan hubungan
perburuhan berubah hal ini terlihat dari usaha pemerintah yang mulai
memperhatikan nasib para buruh / pekerja dengan dikeluarkan nya berbagai
peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-undang nomor 12 tahun 1948 yang
merupakan undang-undang kerja yang diperkuat dengan undang-undang nomor 1 tahun
1951 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
2.
Saran
Dengan adannya undang-undang nomor
13 tahun 2003 di harapkan kepada kepemerintah agar lebih melindungi hak-hak
buruh.
REFERENSI
Asikin Zainal. Dkk, Dasar-dasar
hukum perburuan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Husni Lalu, Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2005.
Soepomo Iman, pengantar Hukum
Perburuan, Djambatan, Jakarta, 2003.
[1] Iman Soepomo, pengantar Hukum
Perburuan, Djambatan, Jakarta, 2003, Hal.14.
[2]Ibid., Hal.15
[3]Ibid., Hal.17
[4] Zainal Asikin. Dkk, Dasar-dasar
hukum perburuan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal.10.
[5]Lalu husni, Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2005,
hal.3
[6] Zainal Asikin.Dkk, Op.cit., Hal.20.
[7]Ibid., Hal.20-21
[8]Ibid., Hal.22-23
[9]Ibid., Hal.26-27.
[10]Ibid., Hal.27
[11]Ibid., Hal.28
No comments:
Post a Comment