A.PENDAHULUAN
Syarat
subjek hukum adalah kecakapan atau
kemampuan untuk memikul beban hukum, kemampuan dikenai hukum, dan kemampuan berbuat hukum. Kecakapan dikenai hukum (ahliyah al-wujub)
berlaku untuk seseorang dalam kapasitasnya sebagai manusia. Hal ini berati bahwa semua manusia
cakap dikenai hukum.
Oleh karena itu tidak ada satu pun yang dapat
mempengaruhi kecakapannya untuk dikenai hukum
Kecakapan
untuk berbuat hukum
tersebut tidak berlaku untuk
semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu ,dalam hal
ini baligh dan berakal. Bila
seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi kemampuan
akal, maka dinyatakan ia cakap
untuk melaksamankan hukum(mukallaf).
Terkadang terjadi
sesuatu pada manusia yang menyebabkannya dalam keadaan tertentu
untuk tidak dapat melaksanakan
beban hukum. Salah satu penyebab yang mempengaruhi untuk
tidak melakukan beban hukum
tersebut adalah awaridh
muktasabah.
B.PEMBAHASAN
‘Awaridh muktasabah yaitu halangan yang menimpa
seseorang dalam menghadapai beban hukum yang timbulnya tersebab oleh perbuatan
manusia atau dalam keberadaan nya masih didapatkan kehendak manusia walaupun
dalam bentuk terbatas. Yang termasuk dalam halangan bentuk tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mabuk
Mabuk
ialah tertutup nya akal disebabkan oleh meminum
atau memakan sesuatu yang mempengaruhi daya akal, baik dalam bentuk cairan atau
bukan. Mabuk menyebabkan pembicaraan tidak menentu seperti igauan orang tidur tetapi secara fisik ia sehat.
Mabuk dari segi cara
penyebabnya, yaitu :
1. Mabuk
yang disebabkan oleh
usaha yang pelakunya dinyatakan tidak berdosa. Mabuk dalam bentuk ini tidak di
tuntut bila ia melakukan pelanggaran sejauh yang menyangkut hak Allah karena ia
diberi udzur[1]
atas mabuk nya itu, baik dalam bentuk tindakannya
maupun dalm bentuk ucapannya. Seperti : mabuk disebabkan meminum khamar dalam
keadaan terpaksa.
2. Mabuk
yang disebabkan oleh usaha
yang terlarang, mabuk dalam bentuk ini berdosa karena perbuatan mabuknya itu,
seperti : sengaja meminum khamar yang ia
tahu minuman itu memabukkan.[2]
b.
Ketidaktahuan
(al-jahl)
Hukum islam telah menyebutkan ada beberapa sumber
hukum islam. Sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak
melaksanakannya dengan alasan tidak tahu. Tidak tahu ini tidak dapat dijadikan
alasan selama ia masih dalam lingkungan wilayah islam. Sifat paham atau
mengetahui dapat dibagi dua bentuk yaitu:
1.Pengetahuan bersifat umum yang tidak mungkin
seseorang mengatakan tidak mengetahuinya, karena pengetahuan tersebut dapat
ditemukan dimana-mana, kecuali orang yang akal nya tidak memungkinkan untuk
mengetahui
2.Pengtahuan secara khusus ,yaitu pengetahuan yang
tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang-orang yang secara khusus
mempelajarinya[3]
Ketidaktahuan
adalah lawan dari mengetahui. Ketidaktahuan
yang dimaksud adalah dimana seseorang tidak mengetahui tentang
informasi hukum syara’ [4] yang dapat dibagi 2 yaitu
sebagai berikut:
1.Ketidaktahuan yang
dapat dipandang sebagai udzur untuk tidak memberlakukan hukum bagi seseorang.
Ketidaktahuan
bentuk ini terjadi karena tidak mendapat pedoman atau petunjuk untuk mendapatkan informasi
yang seharusnya dapat diketahui atau karena informasi tentang sesuatu yang harus diketahui itu bersifat syubhat[5].
Misalnya seorang muslim tidak mengetahui ketentuan hukum islam,karena ia berada
di wilayah kafir, sedangkan ia tidak dapat hijrah ke wilrayah islam dan tidak
memilki fasilitas untuk
mengakses tentang hukum syara’.
2.Ketidaktahuan yang
tidak dapat dipandang sebagai udzur untuk tidak memberlakukan hukm bagi
seseorang.
Ketidaktahuan
bentuk ini adalah ketidaktahuan terhadap informasi ketentuan syara’ bersifat
umum, jelas dan dapat di akses oleh semua orang yang tidak mungkin seseorang
mengakui bahwa ia tidak mengetahuinya.contoh : seorang yang berada dalam
wilayah islam tidak melaksanakan puasa ramadhan dengan alasan tidak mengetahui bahwa
puasa ramadhan wajib hukum nya.[6]
c.
Tersalah
Tersalah
adalah menyengaja melakukan sesutau perbuatan pada tempat yang dituju oleh
suatu kejahatan. Seperti seorang berkumur-kumur dalam keadaan sedang berpuasa.
kemudian tanpa sengaja air masuk kedalam perutnya. Kesalahan ditinjau dari
bentuk perbuatannya terbagi 3 yaitu :
1.Kesalahan dalam
perbuatan
Seperti
seseorang melakukan perbuatan, ternyata akibat perbuaan lain yang muncul akibat
dari kesalahannya dalam perbuatan umpamanya memukul seseorang dengan alat
biasanya tidak merusak tetapi
akibat perbuatan itu orang lain mati.
2.Kesalahan dalam tujuan
Dalam
arti seseorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kejahatan, tetapi karena tersalah perbuatan itu
menghasilkan kejahatan. Seperti seseorang menembak burung tetapi yang kena
adalah orang.
3.Kesalahan dalam
perhitungan
Sebagaimana
yang berlaku pada sebagian dokter dalam hubungannya dengan tugasnya mengobati
pasiennya. Contohnya seperti salah dalam memberi resp obat kepada pasiennya.
Bila
ia tersalah karena ketidaktahuannya atau karena kelalaiannya sehingga
menyebabkan orang lain sakit atau mati atau terpotong anggota badannya maka
perbuatannya itu harus dipertanggung
jawabkannya.[7]
d.
Terpaksa
Terpaksa
ialah menghendaki seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan
keinginannya. Bila seseorang melakukan sesutau diluar keinginannya untuk atau
atas kehendak seseorang berati ia rela berbuat demikian. Keadaan rela dan
terpaksa itu merupakan dua hal yang berlawanan. Dari segi bentuk keterpaksaan
ulama hanafiyah membagi paksaan itu kepada 2 bentuk :
1. Ikrah
Mulji’ yaitu keterpaksaan yang tidak memungkinkan bagi orang dipaksa melepaskan
dirinya dari ancaman si pemaksa.
Alat pemaksaannya ialah sesuatu yang menyebabkan kematian atau merusak anggota
badan
2. Ikrah
Ghairu Mulji’ yaitu paksaan yang masih mungkin pihak yang dipaksa untuk
menghindarkan diri dari melakukan perbuatan yang dipaksakan. Sebab yang
menjadikan seseorang terpaksa dalam hal ini adalah dengan bentuk pukulan yang
tidak membawa kepada kematian atau
kerusakan anggota badan.
Dari
segi perbuatan yang dipaksakan, paksaan terbagi 3:
1.Paksaan untuk
mengucapkan sesuatu yang tidak mungkin dibatalkan artinya ucapan yang menyebakan hukum tetap
berlaku meskipun dalam keadaan
terpaksa. Contoh nya seperti untuk mentalak istrinya
2.Paksaan untuk
mengucapkan sesuatu yang mungkin
dibatalkan. Contohnya seperti akad
jual beli dan pengakuan terhadap sesuatu
3.Paksaan untuk berbuat
dalam bentuk perbuatan. Paksaan dalam bentuk ini dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu:
·
Paksaan untuk melakukan
perbuatan yang pelakunya tidak dapat dipandang sebagi alat bagi yang memaksa.
Contohnya sperti meminum khamar sedang berpuasa
·
Paksaan melakukan
perbuatan yang pelakunya dapat dipandang sebagai alat bagi yang memaksa.
Contohnya seperti paksaan untuk membunuh.
Dari
segi diperbolehkan
seseorang terpaksa melakukan sesuatu Imam Syafi’i membagi terpaksa dalam dua
bentuk :
1. Terpaksa
secara hak, yaitu pemaksaan itu secara hukum dapat di lakukan sedangkan pihak
yang dipaksa, meskipun ia melakukannya dalam keadaan terpaksa, namun semua
hasil perbuatan nya tetap berlangsung secara hukum. Contoh : seorang yang di
paksa oleh hakim untuk menjual harta nya untuk melunasi hutangnya, maka sah
jual belinya meskipun dalam keadaan terpaksa.
2. Terpaksa
tidak secara hak, yaitu paksaan untuk melakukan sesuatu yang pada dasar nya
tidak di benarkan oleh hukum. Paksaan
seperti ini ada dua macam, yaitu paksaan untuk melakukan suatu perbuatan terlarang
yang hanya dibolehkan dalam
keadaan terpaksa dan paksaan untuk melakukan perbuatan yang tidak di bolehkan
agama meskipun dalam keadaan terpaksa.[8]
e.
Berpergian
(as-safar)
Sebenarnya
keadaan berpergian tidak menghilangkan kecakapan bertindak secara hukum.
Tetapi, karena biasanya berpergian melahirkan kesulitan melaksanakan perintah-perintah
agama, terutama ibadah shalat secara sempurna atau melaksanakan puasa ramadhan. ketika sedang musafir
maka seseorang tersebut diberi keringanan hukum. Kerena itu, orang yang sedang
berpergian boleh tidak melasanakan puasa ramadhan, dengan menggantinya di luar
bulan ramadhan, dan boleh pula mengqashar shalat wajib yang empat rakaat
menjadi dua rakaat.[9]
f.
Dalam
keadaan sakit
Dalam
keadaan sakit disini ialah penyakit yang menyebabkan seseorang mengalami
kesulitan untuk melaksanakan kewajiban hukum. Sebagaimana dalam keadaan perjalanan
sakitpun tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum karena pada orang sakit, akal yang menjadi
dasar adanya kecakapan tetap dalam
keadaan utuh. Hanya dalam hal ini hukum syara’ memberikan beberapa keringanan
dalam melaksanan hukum. Contoh : dalam keadaan sakit boleh ia tidak berpuasa
dalam bulan ramadhan.
Bolehnya tidak berpuasa itu bukan berarti kewajiban puasa di gugurkan untuk
orang sakit, tetapi hanya penangguhan sebagai keringanan baginya dalam berbuat.
Ia harus melakukan puasa yang tertinggal itu sewaktu ia telah sehat.[10]
g.
Kematian
Kematian
menggugurkan kewajiban hukum taklifi yang bersifat badani dan keduniaan,
seperti shalat, puasa, haji dan lainnya.
Bila
sebelum mati ada kewajiban berupa hak orang lain yang bersangkutan dengannya,
jika hak itu dalam bentuk materi, maka hak itu tetap berlaku selama materi itu
masih ada secara utuh, seperti amanat, titipan, barang rampasan, barang yang di
beli yang belum dibayarnya. Alasannya ialah bahwa yang dimaksud dengan
kewajiban disini adalah kembalinya hak tersebut kepada pemiliknya, yang demikian
dapat berlaku meskipun yang berkewajiban sudah mati.
Adapun
kewajiban ibadah hukum
nya berbeda dengan kewajiban materi, karena yang dituju adalah perbuatan itu dilakukan oleh
yang dikenai materi
kewajiban. Hal seperti ini tidak dapat dilakukan sesudah mati.[11]
C.PENUTUP
Kesimpulan
Allah swt mensyariatkan hukum, baik yang mengatur hak
yang harus dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun
mengenai ucapan dan perbuatannya dengan tujuan kemaslahatan hidupnya baik secara
kelompok maupun secara perorangan . Oleh
karena itu dalam penerapan hukum tersebut sangat diperhatikan perkembangan dan
keadaan manusia baik fisik maupun akalnya, dari seemenjak dalam kandungan
hingga akhir hayatnya.
Dengan kata lain hukum islam dalam memberlakukan
ketentuan-ketentuan hukumnya kepada manusia selalu sesuai kemampuan badan dan
akalnya.
Dan tidak selama nya seorang
mukallaf itu selalu dikenakan beban hukum.
Terkadang ada pada suatu saat seseorang tidak dikenakan beban hukm karena alasan yang dibenarkan. Seperti alasan-alasan yang telah disebutkan diatas
DAFTAR
PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul fiqh Jilid 1. Jakarta : kencana.
http://sakirmano01.blogspot.com/2011/12/awaridh-al-ahliyah-halangan-atas.html?m=1 diakses
tanggal 23 maret 2013
[1] Sesuatu yang dapat menjadi alasan yang sah
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh Jilid 1 (Jakarta
: kencana,2008) hal. 407-408
[3] http://sakirmano01.blogspot.com/2011/12/awaridh-al-ahliyah-halangan-atas.html?m=1 diakses
tanggal 23 maret 2013
[4] Ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang di akui dan diyakini serta
mengikat seluruh umat islam
[5] Bersifat samar-samar
[6] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta :
AMZAH,2010) hal. 108-109
[7] amir syarifuddin, Op.cit., hal. 414-416
[9] Abd. Rahman Dahlan, Op.cit., hal 111-112
[10] amir syarifuddin, Op.cit., hal. 425
No comments:
Post a Comment