Tuesday, 25 June 2013

Tugas ‘Awaridh muktasabah



A.PENDAHULUAN
Syarat subjek hukum adalah kecakapan atau kemampuan untuk memikul beban hukum,  kemampuan dikenai hukum,  dan kemampuan berbuat hukum. Kecakapan dikenai hukum (ahliyah al-wujub) berlaku untuk seseorang dalam kapasitasnya sebagai manusia. Hal ini berati bahwa semua manusia cakap dikenai hukum. Oleh karena  itu tidak ada satu pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya untuk dikenai hukum
Kecakapan untuk berbuat hukum tersebut tidak berlaku untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu ,dalam hal ini baligh dan berakal. Bila seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi kemampuan akal, maka dinyatakan ia cakap untuk melaksamankan hukum(mukallaf).
Terkadang terjadi sesuatu  pada manusia yang menyebabkannya dalam keadaan tertentu untuk tidak dapat melaksanakan beban hukum. Salah satu penyebab yang mempengaruhi untuk tidak melakukan beban hukum tersebut adalah  awaridh muktasabah.













B.PEMBAHASAN
Awaridh muktasabah yaitu halangan yang menimpa seseorang dalam menghadapai beban hukum yang timbulnya tersebab oleh perbuatan manusia atau dalam keberadaan nya masih didapatkan kehendak manusia walaupun dalam bentuk terbatas. Yang termasuk dalam halangan bentuk tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Mabuk
Mabuk ialah tertutup nya akal disebabkan oleh meminum atau memakan sesuatu yang mempengaruhi daya akal, baik dalam bentuk cairan atau bukan. Mabuk menyebabkan pembicaraan tidak menentu seperti igauan orang tidur tetapi secara fisik ia sehat.
Mabuk dari segi cara penyebabnya, yaitu :
1.      Mabuk yang disebabkan oleh usaha yang pelakunya dinyatakan tidak berdosa. Mabuk dalam bentuk ini tidak di tuntut bila ia melakukan pelanggaran sejauh yang menyangkut hak Allah karena ia diberi udzur[1] atas mabuk nya itu, baik dalam bentuk tindakannya maupun dalm bentuk ucapannya. Seperti : mabuk disebabkan meminum khamar dalam keadaan terpaksa.
2.      Mabuk yang disebabkan oleh usaha yang terlarang, mabuk dalam bentuk ini berdosa karena perbuatan mabuknya itu, seperti : sengaja meminum khamar  yang ia tahu minuman itu memabukkan.[2]

b.      Ketidaktahuan (al-jahl)
Hukum islam telah menyebutkan ada beberapa sumber hukum islam. Sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakannya dengan alasan tidak tahu. Tidak tahu ini tidak dapat dijadikan alasan selama ia masih dalam lingkungan wilayah islam. Sifat paham atau mengetahui dapat dibagi dua bentuk  yaitu:
1.Pengetahuan bersifat umum yang tidak mungkin seseorang mengatakan tidak mengetahuinya, karena pengetahuan tersebut dapat ditemukan dimana-mana, kecuali orang yang akal nya tidak memungkinkan untuk mengetahui
2.Pengtahuan secara khusus ,yaitu pengetahuan yang tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang-orang yang secara khusus mempelajarinya[3]
Ketidaktahuan adalah lawan dari mengetahui. Ketidaktahuan yang dimaksud adalah dimana seseorang tidak mengetahui tentang informasi hukum syara’ [4] yang dapat dibagi 2 yaitu sebagai berikut:
1.Ketidaktahuan yang dapat dipandang sebagai udzur untuk tidak memberlakukan hukum bagi seseorang.
Ketidaktahuan bentuk ini terjadi karena tidak mendapat pedoman  atau petunjuk untuk mendapatkan informasi yang seharusnya dapat diketahui atau karena informasi tentang sesuatu yang harus diketahui itu bersifat syubhat[5]. Misalnya seorang muslim tidak mengetahui ketentuan hukum islam,karena ia berada di wilayah kafir, sedangkan ia tidak dapat hijrah ke wilrayah islam dan tidak memilki fasilitas untuk mengakses tentang hukum syara’.
2.Ketidaktahuan yang tidak dapat dipandang sebagai udzur untuk tidak memberlakukan hukm bagi seseorang.
Ketidaktahuan bentuk ini adalah ketidaktahuan terhadap informasi ketentuan syara’ bersifat umum, jelas dan dapat di akses oleh semua orang yang tidak mungkin seseorang mengakui bahwa ia tidak mengetahuinya.contoh : seorang yang berada dalam wilayah islam tidak melaksanakan puasa ramadhan dengan alasan tidak mengetahui bahwa puasa ramadhan wajib hukum nya.[6]
c.       Tersalah
Tersalah adalah menyengaja melakukan sesutau perbuatan pada tempat yang dituju oleh suatu kejahatan. Seperti seorang berkumur-kumur dalam keadaan sedang berpuasa. kemudian tanpa sengaja air masuk kedalam perutnya. Kesalahan ditinjau dari bentuk perbuatannya terbagi 3 yaitu :

1.Kesalahan dalam perbuatan
Seperti seseorang melakukan perbuatan, ternyata akibat perbuaan lain yang muncul akibat dari kesalahannya dalam perbuatan umpamanya memukul seseorang dengan alat biasanya tidak merusak tetapi akibat perbuatan itu orang lain mati.
2.Kesalahan dalam tujuan
Dalam arti seseorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kejahatan, tetapi karena tersalah perbuatan itu menghasilkan kejahatan. Seperti seseorang menembak burung tetapi yang kena adalah orang.
3.Kesalahan dalam perhitungan
Sebagaimana yang berlaku pada sebagian dokter dalam hubungannya dengan tugasnya mengobati pasiennya. Contohnya seperti salah dalam memberi resp obat kepada pasiennya.
Bila ia tersalah karena ketidaktahuannya atau karena kelalaiannya sehingga menyebabkan orang lain sakit atau mati atau terpotong anggota badannya maka perbuatannya itu harus dipertanggung jawabkannya.[7]
d.      Terpaksa
Terpaksa ialah menghendaki seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya. Bila seseorang melakukan sesutau diluar keinginannya untuk atau atas kehendak seseorang berati ia rela berbuat demikian. Keadaan rela dan terpaksa itu merupakan dua hal yang berlawanan. Dari segi bentuk keterpaksaan ulama hanafiyah membagi paksaan itu kepada 2 bentuk :
1.      Ikrah Mulji’ yaitu keterpaksaan yang tidak memungkinkan bagi orang dipaksa melepaskan dirinya dari ancaman si pemaksa. Alat pemaksaannya ialah sesuatu yang menyebabkan kematian atau merusak anggota badan
2.      Ikrah Ghairu Mulji’ yaitu paksaan yang masih mungkin pihak yang dipaksa untuk menghindarkan diri dari melakukan perbuatan yang dipaksakan. Sebab yang menjadikan seseorang terpaksa dalam hal ini adalah dengan bentuk pukulan yang tidak membawa kepada kematian atau kerusakan anggota badan.
Dari segi perbuatan yang dipaksakan, paksaan terbagi 3:
1.Paksaan untuk mengucapkan sesuatu yang tidak mungkin dibatalkan artinya ucapan yang menyebakan hukum tetap berlaku meskipun dalam keadaan terpaksa. Contoh nya seperti untuk mentalak istrinya
2.Paksaan untuk mengucapkan sesuatu yang mungkin dibatalkan. Contohnya seperti akad jual beli dan pengakuan terhadap sesuatu
3.Paksaan untuk berbuat dalam bentuk perbuatan. Paksaan dalam bentuk ini dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu:
·         Paksaan untuk melakukan perbuatan yang pelakunya tidak dapat dipandang sebagi alat bagi yang memaksa. Contohnya sperti meminum khamar sedang berpuasa
·         Paksaan melakukan perbuatan yang pelakunya dapat dipandang sebagai alat bagi yang memaksa. Contohnya seperti paksaan untuk membunuh.
Dari segi diperbolehkan seseorang terpaksa melakukan sesuatu Imam Syafi’i membagi terpaksa dalam dua bentuk :
1.      Terpaksa secara hak, yaitu pemaksaan itu secara hukum dapat di lakukan sedangkan pihak yang dipaksa, meskipun ia melakukannya dalam keadaan terpaksa, namun semua hasil perbuatan nya tetap berlangsung secara hukum. Contoh : seorang yang di paksa oleh hakim untuk menjual harta nya untuk melunasi hutangnya, maka sah jual belinya meskipun dalam keadaan terpaksa.
2.      Terpaksa tidak secara hak, yaitu paksaan untuk melakukan sesuatu yang pada dasar nya tidak di benarkan oleh hukum. Paksaan seperti ini ada dua macam, yaitu paksaan untuk melakukan suatu perbuatan terlarang yang hanya dibolehkan dalam keadaan terpaksa dan paksaan untuk melakukan perbuatan yang tidak di bolehkan agama meskipun dalam keadaan terpaksa.[8]

e.       Berpergian (as-safar)
Sebenarnya keadaan berpergian tidak menghilangkan kecakapan bertindak secara hukum. Tetapi, karena biasanya berpergian melahirkan kesulitan melaksanakan perintah-perintah agama, terutama ibadah shalat secara sempurna atau melaksanakan puasa ramadhan. ketika sedang musafir maka seseorang tersebut diberi keringanan hukum. Kerena itu, orang yang sedang berpergian boleh tidak melasanakan puasa ramadhan, dengan menggantinya di luar bulan ramadhan, dan boleh pula mengqashar shalat wajib yang empat rakaat menjadi dua rakaat.[9]
f.       Dalam keadaan sakit
Dalam keadaan sakit disini ialah penyakit yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk melaksanakan kewajiban hukum. Sebagaimana dalam keadaan perjalanan sakitpun tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum karena pada orang sakit, akal yang menjadi dasar adanya kecakapan tetap dalam keadaan utuh. Hanya dalam hal ini hukum syara’ memberikan beberapa keringanan dalam melaksanan hukum. Contoh : dalam keadaan sakit boleh ia tidak berpuasa dalam bulan ramadhan. Bolehnya tidak berpuasa itu bukan berarti kewajiban puasa di gugurkan untuk orang sakit, tetapi hanya penangguhan sebagai keringanan baginya dalam berbuat. Ia harus melakukan puasa yang tertinggal itu sewaktu ia telah sehat.[10]
g.      Kematian
Kematian menggugurkan kewajiban hukum taklifi yang bersifat badani dan keduniaan, seperti shalat, puasa, haji dan lainnya.
Bila sebelum mati ada kewajiban berupa hak orang lain yang bersangkutan dengannya, jika hak itu dalam bentuk materi, maka hak itu tetap berlaku selama materi itu masih ada secara utuh, seperti amanat, titipan, barang rampasan, barang yang di beli yang belum dibayarnya. Alasannya ialah bahwa yang dimaksud dengan kewajiban disini adalah kembalinya hak tersebut kepada pemiliknya, yang demikian dapat berlaku meskipun yang berkewajiban sudah mati.
Adapun kewajiban ibadah hukum nya berbeda dengan kewajiban materi, karena yang dituju adalah perbuatan itu dilakukan oleh yang dikenai materi kewajiban. Hal seperti ini tidak dapat dilakukan sesudah mati.[11]

C.PENUTUP
Kesimpulan
Allah swt  mensyariatkan hukum, baik yang mengatur hak yang harus dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun mengenai ucapan dan perbuatannya dengan tujuan kemaslahatan hidupnya baik secara kelompok maupun  secara perorangan . Oleh karena itu dalam penerapan hukum tersebut sangat diperhatikan perkembangan dan keadaan manusia baik fisik maupun akalnya, dari seemenjak dalam kandungan hingga akhir hayatnya.
Dengan kata lain hukum islam dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan hukumnya kepada manusia selalu sesuai kemampuan badan dan akalnya.
Dan tidak selama nya seorang mukallaf itu selalu dikenakan beban hukum. Terkadang ada pada suatu saat seseorang tidak dikenakan beban hukm karena alasan yang dibenarkan. Seperti alasan-alasan yang telah disebutkan diatas














DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,  Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul fiqh Jilid 1. Jakarta : kencana.










[1]  Sesuatu yang dapat menjadi alasan yang sah
[2]  Amir Syarifuddin, Ushul fiqh Jilid 1 (Jakarta : kencana,2008) hal. 407-408
[4]  Ketentuan Allah tentang tingkah  laku  manusia yang di akui dan diyakini serta mengikat seluruh umat islam
[5]  Bersifat samar-samar
[6]  Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta : AMZAH,2010) hal. 108-109
[7]  amir syarifuddin, Op.cit., hal. 414-416
[8]  Ibid. Hal 417- 421
[9]  Abd. Rahman Dahlan, Op.cit., hal 111-112
[10]  amir syarifuddin, Op.cit., hal. 425
[11]  Ibid  hal. 426

No comments:

Post a Comment