Friday, 14 October 2016

Cerita | Lembah Bukhara

engga penting ni cerita beneran atau cuma dongeng, aku suka cerita nya.. ada pelajaran yang dapat dipetik.. dan ini ceritanyaaa...

-
-
-

Hamparan indah lembah itu, dibentengi delapan gunung, dihiasi enam air terjun setinggi ratusan meter, dibungkus selimut kabut putih sejauh mata memandang, hamparan lading subur, rumah-rumah panggung dari kayu yang eksotis, lenguh suara burung dan hewan yang hidup bebas, itulah lembah permai. Bahkan di sana angin tidak berhembus lazimnya seperti di tempat-tempat lain. Cobalah duduk di salah satu beranda rumah mereka, pejamkan mata, hanya soal waktu kalian akan tahu angin di lembah itu bernyanyi, melantunkan kabar betapa sejahtera, makmur, dan adil seluruh penghuninya. Itulah Lembah Bukhara yang tersembunyi dari peradaban manusia. Itulah lembah paling indah di seluruh dunia.

Lembah Bukara tidak dibangun dalam semalam. Lembah itu adalah bukti proses panjang, saling menghargai manusia dan alam, pemahaman yang baik, penguasaan ilmu pengetahuan serta kebijakan luhur manusia. Butuh seratus tahun agar Lembah Bukhara menjadi indah.

Menurut cerit Ali Khan, emir Lembah Bukhara, seratus tahun silam seluruh keindahan lembah binasa oleh keserakahan penghuninya, para penambang emas. Meraka datang satu rombongan disusul rombongan lain. Kabar ditemukannya emas di sepanjang sungai lembah membuat hutan-hutan dibabat, permukiman baru bermunculan. Dalam sekejap, yang tersisa hanya lubang tambang emas di mana-mana. Tidak puas melubangi lembanya, penduduk mulai merangsek ke lereng delapan gunung, menggelontorkan berjuta-juta ton pasir bebatuan ke lembah, terus mengeduk emas yang tersisa. Lereng gunung sompal bagai kue yang dipangkas, berubah coklat dan gersang. Hanya dalam hitungan tahun, seluruh hutan yang luasnya hampir sebesar kota kita berubah menjadi padang pasir. Tandus, panas, tidak menyisakan apa pun selain kesedihan. 

Kerusakan tidak tertahan, bijih emas semakin sulit ditemuan, maka satu rombongan disusul rombongan lain bergegas meninggalkan lembah terkutuk itu.

Tidak ada yang tersisa. Habis, musnah, lantas apakah para penduduk menjadi kaya? Makmur? Ternyata tidak, jauh bumi dengan langit. Kemilau emas hanya memberikan kesenangan sesaat, hidup bergaya, lantas apa? Mereka segera miskin. Generasi berikutnya malah hidup semakin susah. Untuk mencari seember air bersih mereka terpaksa berjalan kaki belasan kilometer. Padang pasir tidak bisa ditanami. Tamat sudah lading-ladang yang subur, hutan yang memberikan nafkah. Dan keributan muncul di mana-mana. Penduduk merebut makanan. Hal-hal sepele memicu pertengkaran. Orang-orang mencari jalan pintas, melakukan kejahatan, merendahkan harga diri. Lembah itu berubah jadi permukiman tidak beradab. Sementara para pendatang sudah jauh meninggalkan mereka.  Entah sedang merusak dimana lagi. Warga lembah harus menanggung keserakahan mereka membiarkan pendatang menambang emas.

Seratus tahun silam, adalah Alim Khan, kakek Ali Khan, emir Bukhara yang menjadi tetua lembah. Di tangan Alim Khan-lah harapan tersisa. Pemimpin yang baru dua puluh tahun, pulang dari menuntut ilmu di negeri seberang, harus mendapati lembah kelahirannya hancur lebur. Tidak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Alim Khan. Dia yakin, siapa yang terus berjuang mengubah nasib, maka alam semesta akan mengirimkan bantuan, terlihat ataupun tidak terlihat.

Lembah Bukhara tidak dibangun semalam, melainkan seratus tahun. Pada periode awal, penduduk bahkan tidak  menganggap Alim Khan sebagai emir, hanya segelintir yang membantu. Alim Khan mengerti situasinya. Dia perlu bukti nyata agar jalan keluar yang ditawarkannya bisa diterima. Alim Khan percaya, kembali menjadi petani, menghormati alam, hidup sederhana justru akan mengembalikan keindahan seluruh lembah. Dia menolak mentah-mentah bentuan dari luar yang hendak menjadikan lembah itu tambang pasir bijih besi, menawarkan harta benda bertumpuk. Alim Khan memblokade jalan-jalan agar tidak ada alat berat dan truk pengangkut pasir masuk. Dia bersama segelintir penduduk lembah meruntuhkan lereng gunung, memutus total akses keluar-masuk lembah, membuat lembah itu tersembunyi dari peradaban kaum perusak.

Dan Alim Khan menawarkan ilmu pengetahuan sebagai jalan keluar. Tebal lautan pasir yang menutupi seluruh lembah tidak kurang dari tiga puluh meter. Setiap kali hujan turun, semua air terserap masuk tanpa tersisa, tidak ada sayur, gandum, dan tumbuhan lain yang bisa hidup. Alim Khan menyuruh mereka mengeduk pasir hingga kedalaman satu meter, lantas membuat hamparan beton untuk menahan air merembes ke dalam, menumpuk kembali pasir bersama tanah di atasnya, membuat sumur-sumur dalam, mengairi tanah yang sudah dilapis beton, mulai menanam sayur mayor. Tiga bulan, teknologi itu terbukti. Tanah lembah itu memang memiliki unsur hara berlimpah. Lading sayur Alim Khan menghijau, daunnya rimbun, buahnya lebat dan besar-besar, membuat pertikaian di lembah terhenti, takjub. Perlawanan sebagian penduduk yang masih mendukung ide tambang bijih itu berakhir.

Emir mereka benar. Mereka bisa menaklukkan padang pasir ini, mengubahnya kembali menjadi lembah yang subur dan diberkahi. Penduduk lembah menyingkirkan perbedaan, menjulurkan tangan, bahu-membahu memperbaiki lembah yang berarti juga memperbaiki hidup mereka sendiri.

Sepuluh tahun berlalu, tidak terhitung kebun penduduk menghampar, pohon-pohon ditanam kembali, sampah beracun sisa tambang emas ditimbun dalam-dalam, sungai kembali mengalir bening, dan kehidupan penduduk membaik. Alim Khan menjelaskan pemahaman hidup yang seerhana, kerja kers, selalu pandai bersyukur, saling membantu.

Lima puluh tahun berlalu, saat Alim Khan mengembuskan napas terakhir, generasi baru telah lahir di Lembah Bukhara. Pohon-pohon mulai menghutan, hewan liar kembali, dan pemahaman hidup yang baik mereka subur. Mereka memiliki teknologi menanam sayur di uadara. Mereka bisa membuat kebun sayur dua tingkat, dengan sulut-sulut bambu. Belum lagi berbagai penemuan jenis tumbuhan baru yang lebih baik, lebih lebat buahnya, lebih tahan hama, dan lebih lezat rasanya.

Seratus tahun berlalu…, mereka punya satu pohon apel di seluruh lembah, dan apel itu hanya berbuah sepuluh tahun sekali. Mereka mengunyah apel itu tidak hanya membuat kenyang, tapi memberikan sensasi tenteram dam pemahaman baik di hati. Mengunyah apel itu tentu saja tidak membuat berumur panjang, tapi bisa melapangkan hati yang sempit dan menjernihkan pikiran yang kotor. Itulah apel emas Lembah Bukhara.




By:
-        Tere-liye (Ayahku (Bukan) Pembohong.

3 comments:

  1. saya juga suka ceritanya, banyak pelajaran hidup yang dapat di petik. benar-benar penuh dengan motivasi.

    ReplyDelete
  2. Tere liye??ayahku bukan pembohong kan judulnya???sumpah ceritanya menginsporasi sekali

    ReplyDelete