I.
PENDAHULUAN
Berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia
merupakan Negara Kepulauan. Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih
kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai
potensi sumber daya, terutama perikanan laut yang cukup besar.
Indonesia memiliki wilayah
perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan
ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen
Negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai
dengan kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis
dasar lurus dan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari
garis dasar laut.
Hal tersebut tidak terlepas dari
semakin meningkatnya aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia,
khususnya di laut teritorial. Peningkatan intensitas pelayaran, sebagian
diantaranya kapal barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan
terjadinya kecelakaan laut. Selain itu Indonesia masih banyak mengalami
sengketa perbatasan dengan Negara tetangga.
Untuk itu diperlukan peraturan
yang baku mengenai hukum laut Indonesia khususnya dilaut teritorial yang sering
dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan
dengan negara tetangga. Kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa
perbatasan mengenai laut teritorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah
laut teritorial dari pangkuan Negara Indonesia. Selain itu kurangnya pengawasan
terhadap laut teritorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan hilangnya
kekayaan alam yang terkandung didalamnya terutama potensi perikanan yang
banyak dicuri nelayan asing.
Oleh karena itu diperlukan
pemahaman mengenai laut teritorial sehingga pengelolaan dan pengawasan terhadap
laut teritorial benar benar bejalan optimal.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Laut Teritorial
Konsep
laut teritorial bertujuan untuk menumpas pembajakan dan untuk mempromosikan
pelayaran dan perdagangan antar negara. Prinsip ini mengijinkan negara untuk
memperluas yurisdiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan
keamanan. Secara konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah
teritorial darat. Sejak Konferensi Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut
1958, negara-negara pantai mendukung rencana untuk konsep laut teritorial
ditetapkan dalam doktrin hukum laut. Kemudian ketentuan laut teritorial
dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS). UNCLOS mengijinkan
negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah
dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang
mengelilingi negara tersebut.
Pengertian laut
teritorial menurut hukum laut internasional maupun nasional adalah sebagai
berikut:
a.
Pengertian
Laut Teritorial menurut UNCLOS 1982
laut teritorial adalah garis-garis dasar (garis
pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar laut
teritorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari
garis pangkal.
Yang dimaksud
dengan garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air
laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas laut teritorial, ruang
udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut
teritorial ini tunduk pada ketentuan Hukum Internasional.
b.
Pengertian
Laut Teritorial menurut UU No. 6 Tahun 1996
Laut teritorial
adalah jalur laut selebar 12(dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal
kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5 UU No 6 Tahun 1996. Pasal
5 UU No 6 Tahun 1996 berbunyi :
1)
Garis
pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis
pangkal lurus kepulauan.
2)
Dalam
hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.
3)
Garis
pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis
lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau
dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
4)
Panjang
garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh
melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari
jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia
dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125
(seratus dua puluh lima) mil laut.
5)
Garis
pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik
dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar
atau instalasi serupa yang se-cara permanen berada di atas permukaan laut atau
apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu
jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
6)
Garis
pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah
sepanjang pantai.
7)
Garis
pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan
menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
Dalam Laut
Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.
Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di Laut Teritorial tidak
boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan
kegiatan survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan
pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan
lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara
terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang
jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena
keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan
pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.
Terkait dengan
pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai berhak
membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas
laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel
dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap
pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan
pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan
dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal,
imigrasi dan kesehatan.
Di laut
teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak
berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian
dinyatakan dalam pasal 17 UNCLOS 1982. Dalam pasal 18 UNCLOS 1982, disebutkan
pengertian lintas, berarti suatu navigasi melalui laut teritorial untuk
keperluan
:
1)
Melintasi
laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di
tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman ; atau
2)
Berlalu
ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut
(roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus
menerus, langsung serta secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan buang
jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang
lazim atau perlu dilakukan karena force majure atau memberi pertolongan
kepada orang lain, kapal atau pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.
Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa
lintas adalah damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban alat
keamanan Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan
kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai, apabila kapal tersebut
dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan
sebagai berikut :
1)
Setiap ancaman penggunaan kekerasan
terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai,
atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas Hukum
Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
2)
Setiap latihan atau praktek dengan
senjata macam apapun.
3)
Setiap perbuatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara
pantai.
4)
Peluncuran, pendaratan atau
penerimaan pesawat udara di atas kapal.
5)
Perbuatan propaganda yang bertujuan
mempengaruhi pertahanan dan keamanan Negara pantai.
6)
Bongkar atau muat setiap komoditi,
mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan bea cukai dan
imigrasi.
7)
Perbuatan pencemaran laut yang
disengaja.
8)
Kegiatan perikanan.
9)
Kegiatan riset.
10) Mengganggu sistem komunikasi.
11) Kegiatan yang berhubungan langsung
dengan lintas.
Pasal 32 UNCLOS memberikan pengecualian bagi kapal
perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial.
Pasal 29 UNCLOS memberikan definisi kapal perang yaitu suatu kapal yang
dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang
menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang
perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas
militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang
tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai
kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau
Perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai
juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis
berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu
Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi
nyata terhadap kapal Negara manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai
harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut
teritorialnya yang diketahuinya.
Selanjutnya Pasal 25 UNCLOS, mengenai hak perlindungan
bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang
diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya.
Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya
kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi
formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat
menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk
perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata.
B.
Cara
Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial Menurut Instrumen Hukum
Nasional dan Internasional
Seperti yang
diuraikan diatas bahwa penentuan laut teritorial suatu Negara pantai
dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang
merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam pasal 5 unclos
dan UU No.6 tahun 1996 pasal 5. Namun unclos dan UU no.6 tahun1996 memberikan
pengecualian terhadap wilayah laut yang memiliki pantai yang saling berhadapan
antar Negara pantai.
1.
Pasal
10 UU no.6 tahun 1996 menyebutkan bahwa
:
1)
Dalam
hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara
lain, kecuali adapersetujuan yang sebaliknya, garis batas laut
teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalahgaris tengah yang
titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik ter-dekat pada garis pangkal
dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
2)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak
historis ataukeadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas
laut teritorial antara kedua negaramenurut suatu cara yang berbeda dengan
ketentuan tersebut.
2.
Pasal
83 UNCLOS, 1982 menetapkan bahwa penentuan batas landasan continental antar
negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui
perjanjian berdasarkan hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu
penyelesaian yang pantas dan fair.
Berdasarkan
peraturan diatas ,dapat dinyatakan bahwa penentuan batas laut teritorial antara
Negara pantai yang memiliki wilayah pantai dapat dilakukan melalui perundingan
atau kesepakatan antar kedua belah pihak.
C.
Pengaturan Hukum Laut Indonesia
Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai
terdapat dalam :
a.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia.
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
c.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
d.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan.
e.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai
Melalui Perairan Indonesia.
f.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
1999 tentang Pengendalian dan Perusakan Laut.
Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut
teritorial di Indonesia masih banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya
tidak adanya pengaturan batas laut Indonesia.
1.
Pengaturan Hukum Laut Internasional
Mengenai Laut Teritorial Dalam UNCLOS 1982
Dalam UNCLOS, Laut Teritorial diatur dalam :
·
Bagian 1. Pendahuluan (Pasal 1
sampai Pasal 3)
·
Bagian 2. Batas Laut Teritorial
·
Bagian 3. Lintas damai di Laut
Teritorial
1)
Sub bagian a.
Peraturan yang berlaku bagi semua kapal (Pasal 17
sampai Pasal 26).
2)
Sub bagian b.
Peraturan yang berlaku bagi kapal dagang dan kapal
pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersial (Pasal 27 sampai Pasal 28).
3)
Sub bagian c.
Peraturan yang berlaku bagi kapal perang dan kapal
pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial (Pasal 29
sampai Pasal 32).
E.
Peta Wilayah Laut Teritorial Indonesia
III .PENUTUP
Laut teritorial menurut Hukum Laut
Internasional maupun nasional adalah sebagai berikut :
Menurut UNCLOS, garis-garis dasar
(garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar
laut teritorial didefinisikan sebagai laut wilayah yang terletak disisi luar
dari garis pangkal.
Menurut Undang-undang Nomor 6
Tahun 1996, laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil yang
diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud Pasal 5
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.
Dalam laut teritorial berlaku hak
lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing penentuan laut
teritorial suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12
mil dari garis pangkal terluar yang merupakan titik pasang surut terendah
seperti yang diatur dalam Pasal 5 UNCLOS dan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1996.
REFERENSI
Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978.
Anonimus. Konvensi
PBB tentang Hukum Laut, Direktorat Perjanjian Internasional, Departemen
Luar Negeri, 1983.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996