1.
Zaman romawi
Pada masa jayanya imperium Roma
seluruh lautan Tengah (Mediteranean) berada di bawah kekuasaan nya, persoalan
penguasaan laut tidak menimbulkan persoalan hukum, karena tidak ada pihak lain
yang menentang atau menggugat kekuasaan mutlak Roma ata Lautan Tengah. Laut Tengah
pada masa itu tidaklah lain adalah daripada suatau “danau” dalam wilayah
kekaisaran Roma. Keadaan akan berlainan sekiranya pada waktu itu ada
kerajaan-kerajan lain di tepi Lautan Tengah yang dapat mengimbangi kekuasaan
Roma. Tujuan daripada penguasaan Romawi atas laut ini adalah untuk membebaskan
dari bahaya ancaman bajak-bajak laut yang mengganggu keamanan pelayaran di laut
ini yang sangat penting bagi berkembangnya perdagangan dan kesejahteraan hidup
orang-orang yang hidup di daerah yang berada di bawah kekuasaan Roma ini.
Pemikiran hukum yang melandasi
sikap demikian daripada bangsa Romawi terhadap laut adalah merupakan suatu “res
communis omnium” (hak bersama seluruh umat). Menurut konsepsi ini penggunaan
laut bebas atau tebuka bagi setiap orang yaitu kebebasan dari ancaman atau
bahaya bajak laut dalam menggunakan atau memanfaatkan laut dengan demikian
tidak bertentangan dengan penguasaan laut secara mutlak oleh imperium Roma. Pemikiran
lain tentang laut yang menganggap sebagai suatu “res nullius” yaitu laut bisa
dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya.
2.
Abad Pertengahan
Negara-negara yang mucul setelah
runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut
sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan
bermacam-macam.
Venetia mengklaim sebagian besar
dari Laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander ke-III dalam
tahun 1177. Berdasarkan kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut
bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana.
Genoa mengklaim kekuasaan atas
laut Liguria dan sekitarnya dan melakukan tindakan-tindakan untuk
melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan
tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrrhenia.
Adanya klaim-klaim dari
negara-negara pantai untuk keperluan-keperluan yang secara singkat diuraikan
diatas menimbulkan suatu keadaan dimana laut tidak lagi merupakan suatu daerah
milik bersama. Tindakan-tindakan sepihak negara-negara pantai Laut Tengah untuk
menyatakan bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya ini secara
eksklusif menjadi haknya paling sedikit untuk mencarai kejelasan kedudukan
hak-hak demikian serta batas-batasnya dalam hukum.
Kebutuhan untuk menyusun suatu
teori hukum tentang status antar negara daripada laut menyebabkan ahli-ahli
hukum Romawi yang lazim disebut Post-Glossator atau Komentator mencari
penyelesaian hukumnya didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum
Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas
laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori, diantaranya
yang paling terkenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus,
dua ahli hukum terkemuka di abad pertengahan. Bortolus meletakkan dasar bagi
pembagian dua daripada laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan
kedaulatan negara pantai dan diluar itu berupa bagian laut yang bebas dari
kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak akan merupakan dasar bagi
pembagian dua daripada laut yang klasik dalam Laut Territorial dan Laut Lepas.
Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga
konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni: (1) pemilikan daripada
laut (2) pemakaian daripada laut (3) yurisdiksi atas laut dan
wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di
laut.
Suatu peristiwa penting di dalam
sejarah hukum laut internasional adalah pembagian seluruh laut dan samudera
dunia ini di dalam dua bagian yang dilakukan Paus Alexander XII di tahun 1493
dengan piagam yang dinamakan Inter Caetera.
Pembagian seluruh lautan dan
samudera di dunia antara Portugal dan Spanyol yang pada hakekatnya merupakan
pembagian dunia ke dalam dua lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan
berada di bawah kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha
untuk menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini
yang mulai timbul sejak jatuhnya Constatinopel (sekarang Istambul) ke tangan
Turki di tahun 1453.
Dalam abad pertengahan daerah
sekitar Laut Tengah merupakan pusat perdagangan antara benua Asia dan Eropa dan
kota-kota di Italia berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan yang
sangat menguntungkan di Eropa.
Lalu lintas antara kota-kota
kerajaan maupun Republik di Italian dan kota-kota di pantai Timur Laut Tengah
yang merupakan “terminal” atau tempat tujuan akhir dari kafilah-kafilah yang
datang dari Timur Jauh merupakan urat nadi daripada kehidupan perniagaan pada
masa itu.
Selain yang disebutkan di atas
sebab lain yang menyebabkan dapat terus berlangusngnya perdagangan Timur Tengah
ini di tengah-tengah berlakunya perang-perang salib adalah bahwa peperangan
diabad pertengahan memang mengecualikan orang sipil termasuk pedagang dari
permusuhan apalagi warga dari republik atau kerajaan yang tidak terlibat
langsung dalam peperangan.
Bahkan dapat dikatakan bahwa
perang-perang salib merupakan salah satu sebab penting daripada peningkatan
perdagangan dengan Timur Jauh karena mereka yang kembali dari Timur Tengah
inilah yang justru membawa kembali dan memperkenalkan barang-barang mewah dari
Timur Jauh itu ke dalam lingkungan bangsawan dan masyarakat Eropa.
Jatuhnya Istambul ke tangan Turki
di tahun 1453 memperkuat hasrat bangsa-bangsa di Eropa untuk menemukan jalan
bahkan dapat dikatakan memaksa mereka melakukannya. Orang Portugis yang
berhasil sampai ke kepulauan Maluku melalui Samudera Atlantik, Tanjung Harapan
dan India menganggap samudera dan lautan yang mereka lalui sebagai milik
mereka.
Demikian pula orang Spanyol yang
sampai juga ke kepulauan Maluku melalui Samudera Pasifik setelah mengitari
bagian selatan benua Amerika menuntut samudera-samudera tersebut sebagai milik
mereka.
Dengan demikian maka Piagam yang
kedua dari Paus Alexander VI tahun 1493 yang membagi samudera-samudera dan
lautan di dunia antara Portugal dan Sapnyol dapat dianggap sebagai usaha untuk
mendamaikan klaim-klaim yang saling bertentangan di atas. Menurut piagam ini
segala laut dan samudera disebelah Barat meridian (garis bujur) yang letaknya
kurang lebih 400 mil laut dari kepulauan Azores dinyatakan sebagai milik
Spanyol, sedangkan yang sebelah Timur meridian tersebut dinyatakan milik
Portugis.
Pembagian laut dan samudera yang dilakukan
oleh Portugal dan Spanyol yang terutama merupakan cara untuk melarang pihak
lain melakukan pelayaran di laut dan samudera yang bersangkutan rupanya tidak
pernah berlaku di daerah lautan Utara benua Eropa di mana terdapat klaim
“domino maris” daripada kerajaan Denmark, yang selain pengaturan pelayaran
juga, meliputi perikanan dan pemberantasan bajak laut. Satu hal yang menarik
klaim Denmark ini adalah kemampuan kerajaan Denmark untuk memaksakannya
terhadap pihak-pihak lain dan kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan lain seperti
misalnya Inggris, Belanda dan Perancis memang mengakui kedaulatan Denmark atas
laut antara pantai-pantai Norway di satu pihak dan Denmark serta Greenland di
pihak lain.
Kerajaan Inggris masa itu terutama
di bawah raja-raja dari Skotlandia juga menganggap lautan sekitar kepulauan Inggris
sebagai “dominio maris”. Dorongan utama bagi pendirian ini adalah hasrat untuk
melindungi perikanan di perairan Inggris terhadap nelayan-nelayan asing. Untuk
maksud lain raja Charles II pernah menyatakan laut diantara kepulauan Inggris
(England, Scotland, dan Ireland) sebagai “King’s Chambers” dengan cara
pengukuran batas yang menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung ke
ujung kepulauan Inggris.
3.
Laut Tertutup (more
clausum) lawan laut bebas (mare liberium)
Asas kebebasan laut (freedom of
the seas) pertama kali dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare
Liberium yang terbit di tahun 1609. buku ini yang mempunyai subjudul “on the
right of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk
berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak orang
Belanda – atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol – untuk mengarungi
lautan.
Dalam tahun yang sama raja James I
dari Inggris telah mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap
ikan di dekat pantai Inggris. Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang
sebenarnya ditujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup
laut-laut tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan
perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan reaksi yang hebat dari
penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden sehingga
menimbulkan apa yang dinamakan “battle of the books”.
Para penulis Inggris, Potrugal dan
Spanyol yang menentang pendapat Grotius mengemukakan bahwa laut itu dapat
dimiliki oleh setiap negara. Sarjana-sarjana tersebut seperti misalnya John
Shleden dari Inggris dengan bukunya Mare Clausum (Laut Tertutup) yang membela
dan mempertahankan klaim Inggris atas Laut Utara. Demikian pula dengan sarjana
Inggris lain seperti William Wellwood dalam bukunya Abridgement of All Sea
Law (1613) menentang keras pandangan Grotius.
Tentu saja antara kedua pendapat
yang ekstrim itu agak sukar untuk diterima semua pihak dan akhirnya memang
jalan kompromi yang mempertemukan kedua pandangan tersebut yakni pada tahun
1704 seorang sarjana hukum berkebangsaan Belanda Cornelis Von Bynkershoek dalam
bukunya De Dominia Maris Dissertatio (suatu essay tentang kekuasaan atas
laut) mengusulkan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas penguasaan
laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi: “terrae
protestas finitur ubi finitur armorum vis” (kedaulatan territorial berakhir
dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini jalur laut territorial
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah daratan dan perbedaan antara
pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian
sempurnalah pembagian dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah
“battle of the books” antara doktrin “mare liberium” dan “mare clausum”
4.
Toeri Jarak Tembakan
Meriam (Lebar Laut Territorial)
Dalam awal masa sejarah hukum laut
ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut territorial
sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang
terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam; (2) ukuran pandangan mata; (3)
ukuran “marine league”. Baru jauh kemudian ukuran 3 mil laut yang untuk waktu
yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut territorial yang berlaku umum.
Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang paling banyak diperbincangkan adalah
ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang mengira bahwa ukuran tembakan
meriam inilah yang merupakan asal mula kaedah laut territorial tiga mil, yakni
suatu jalur laut yang terbentang sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil
terhitung dari garis pasang surut.
Pada tahun 1782 dua orang sarjana
hukum berkebangsaan Itali Galiani dan Anzuni mengusulkan agar lebar laut
territorial suatu negara sejauh tiga mil diukur dari pantai. Jarak tiga mil
yang diusulkan ini berkaitan dengan persoalan netralitas yang menjadi persoalan
hangat pada waktu perang Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776-1782. Pada waktu
itu berkembang pendapat bahwa perang di laut tidak boleh dilakukan dalam jarak
tiga mil dari pantai negara netral. Tampaknya jarak tiga mil ini sama dengan
jarak tembak meriam pada waktu itu.
Kemudian jarak tiga mil ini mulai
diterima oleh para ahli hukum dan negara-negara. Banyak negara yang menetapkan
lebar laut territorialnya sejauh tiga mil dari pantai diukur pada waktu air
laut surut. Untuk sementara waktu sudah mulai ada kepastian tentang lebar laut
territorial ini. Namun lebar laut territorial ini tidak lama bertahan. Pada
awal abad XIX beberapa negara mulai mengklaim lebar laut territorial yang
melebihi tiga mil. Hal ini berlangsung sampai pertengahan abad XX. Masa ini
boleh dikatakan sebagai puncak perlombaan negara-negara dalam mengklaim lebar
laut territorial. Usaha untuk menetapkan lebar laut territorial yang saragam
bagi semua negara terus dilakukan. Mulai dari pendapat-pendapat para sarjana,
kemudian disusul oleh organisasi-organisasi internasional independent seperti ;Institute
of International Law, International Law Association, American Society of
International Law dan lain sebagainya dan akhirnya oleh organisasi
internasional yang anggotanya negara-negara seperti Liga Bangsa-Bangsa dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun semuanya ini tidak ada yang berhasil
menetukan lebar laut territorial.
5.
Konferensi Den Haag
1930
Pada tahun 1930 diadakanlah
Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag atas prakarsa dari Liga
Bangsa-Bangsa. Salah satu materi hukum internasional yang hendak
dikodifikasikan adalah lebar laut territorial. Akan tetapi Konferensi Den Haag
1930 gagal mencapai kata sepakat lebar laut territorial. Akibatnya lebar laut
territorial negara-negara tetapi tidak seragam.
6.
Konferensi Hukum Laut
Jenewa 1958
Pada tahun 1958 diadakanlah
Konferensi Hukum Laut di Jenewa atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
salah satu materi hukum laut yang dibahas adalah lebar laut territorial.
Seperti halnya dengan Konferensi Den Haag 1930, maka Konferensi Hukum Laut
Jenewa pun gagal mencapai kata sepakat untuk menetapkan lebar laut territorial
yang seragam bagi semua Negara.
7.
Konferensi Hukum Laut
PBB ke III (1974-1982)
Barulah dalam Konferensi Hukum
Laut Internasional 1974-1982 yang juga diprakarsai oleh PBB berhasil mencapai
kesepakatan mengenai lebar laut territorial, yaitu maksimum 12 (dua belas) mil
laut dari pantai diukur dari garis pangkal. UNCLOS (United Nations
Convenstion on the Law of the Sea) adalah suatu perjanjian antara Negara
(Konvensi) yang diprakarsai oleh PBB dan mulai dibentuk sejak tahun 1958 yang
melahirkan empat buah perjanjian antarnegara yang mengatur tentang
kegiatan-kegiatan di laut yang meliputi; Laut Territorial dan Zona Tambahan, Perikanan
dan Konsevasi Sumberdaya Hayati di Laut Lepas, Landas Kontinen dan Laut Lepas.
Adapun 4 Konvensi Jenewa 1958 yaitu:
1.
Konvensi tentang Laut
Territorial dan Zona Tambahan;
- Konvensi tentang Perikanan dan Konsevasi Sumberdaya Hayati di Laut Lepas;
- Konvensi tentang Laut Lepas;
- Konvensi tentang Landas Kontinen.
UNCLOS 1982 disepakati pada akhir
tahun 1982 di mana ada 119 negara anggota PBB telah menyepakati suatu
perjanjian baru yang mengatur tentang pelbagai kegiatan di laut dalam bentuk
suatu perjanjian internasional yang konprehensif yang dikenal sebagai United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Selain memperkuat
sebagian dari ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958, di mana konvensi
ini juga memuat ketentuan-ketentuan tentang hal-hal yang baru seperti konsep
Zona Ekonomi Eksklusif dan asas negara Kepulauan serta menetapkan batas-batas
bagi Laut Territorial dan Landas Kontinen.
Pada tanggal 31 Desember 1985
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui pengundangan Undang-Undang
No.17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea 1982, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ratifikasi ini, pada
tahun 1996, Pemerintah mencabut Undang-Undang No.4/Prp/1960 dan menggantinya
dengan Undang-Undang No.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang lebih
disesuaikan dengna ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982. Undang-Undang ini kemudian
dilengkapi dengan PP No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna yang merubah garis
pangkal untuk daerah tersebut sehingga menutup hampir seluruh perairan di
sekitar Kepulauan Riau.
Menurut United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) bahwa kedudukan Negara
kepulauan (archipelagic state) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 47
dapat menggunakan carap penarikan garis pangkal lurus kepulauan (straight
archipelagic base line). Dalam hukum internasional dikenal adanya garis
pangkal biasa (normal base line), garis pangkal lurus (straight base
line), dan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic base line)
(pasal 5,7, dan 47 UNCLOS 1982). Hal ini telah diperkuat oleh Undang-Undang No.
6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia di mana untuk negara kepulauan
Indonesia dapat digunakan kombinasi ketiga cara penarikan garis di atas.
Garis pangkal lurus kepulauan
adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air
rendah pulau-pulau dan karang terluar dari kepulauan Indonesia. Kedudukan
negara kepulauan secara yuridis diakui dalam UNCLOS 1982 (Pasal 46):
a)
Negara kepulauan
berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan
dapat mencakup pulau-pulau lain;
b)
Kepulauan berarti
suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain
wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya itu merupakan sautu kesatuan
geografi, ekonomi dan politik atau yang secara histories dianggap demikian.
Daftar Pustaka
Kusumaatmaja, Mochtar,
1986, Hukum laut international,
Bandung : Binacipta
http://lumentahenry.blogspot.com/2012/03/sejarah-hukum-laut.html