Monday, 24 February 2014

SEJARAH HUKUM LAUT INTERNATIONAL


 
1.      Zaman romawi
Pada masa jayanya imperium Roma seluruh lautan Tengah (Mediteranean) berada di bawah kekuasaan nya, persoalan penguasaan laut tidak menimbulkan persoalan hukum, karena tidak ada pihak lain yang menentang atau menggugat kekuasaan mutlak Roma ata Lautan Tengah. Laut Tengah pada masa itu tidaklah lain adalah daripada suatau “danau” dalam wilayah kekaisaran Roma. Keadaan akan berlainan sekiranya pada waktu itu ada kerajaan-kerajan lain di tepi Lautan Tengah yang dapat mengimbangi kekuasaan Roma. Tujuan daripada penguasaan Romawi atas laut ini adalah untuk membebaskan dari bahaya ancaman bajak-bajak laut yang mengganggu keamanan pelayaran di laut ini yang sangat penting bagi berkembangnya perdagangan dan kesejahteraan hidup orang-orang yang hidup di daerah yang berada di bawah kekuasaan Roma ini.
Pemikiran hukum yang melandasi sikap demikian daripada bangsa Romawi terhadap laut adalah merupakan suatu “res communis omnium” (hak bersama seluruh umat). Menurut konsepsi ini penggunaan laut bebas atau tebuka bagi setiap orang yaitu kebebasan dari ancaman atau bahaya bajak laut dalam menggunakan atau memanfaatkan laut dengan demikian tidak bertentangan dengan penguasaan laut secara mutlak oleh imperium Roma. Pemikiran lain tentang laut yang menganggap sebagai suatu “res nullius” yaitu laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya.
2.      Abad Pertengahan
Negara-negara yang mucul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam.
Venetia mengklaim sebagian besar dari Laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander ke-III dalam tahun 1177. Berdasarkan kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana.
Genoa mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan sekitarnya dan melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrrhenia.
Adanya klaim-klaim dari negara-negara pantai untuk keperluan-keperluan yang secara singkat diuraikan diatas menimbulkan suatu keadaan dimana laut tidak lagi merupakan suatu daerah milik bersama. Tindakan-tindakan sepihak negara-negara pantai Laut Tengah untuk menyatakan bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya ini secara eksklusif menjadi haknya paling sedikit untuk mencarai kejelasan kedudukan hak-hak demikian serta batas-batasnya dalam hukum.
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara daripada laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazim disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori, diantaranya yang paling terkenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad pertengahan. Bortolus meletakkan dasar bagi pembagian dua daripada laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan diluar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak akan merupakan dasar bagi pembagian dua daripada laut yang klasik dalam Laut Territorial dan Laut Lepas. Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni: (1) pemilikan daripada laut (2) pemakaian daripada laut (3) yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.
Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian yang dilakukan Paus Alexander XII di tahun 1493 dengan piagam yang dinamakan Inter Caetera.
Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini yang mulai timbul sejak jatuhnya Constatinopel (sekarang Istambul) ke tangan Turki di tahun 1453.
Dalam abad pertengahan daerah sekitar Laut Tengah merupakan pusat perdagangan antara benua Asia dan Eropa dan kota-kota di Italia berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan yang sangat menguntungkan di Eropa.
Lalu lintas antara kota-kota kerajaan maupun Republik di Italian dan kota-kota di pantai Timur Laut Tengah yang merupakan “terminal” atau tempat tujuan akhir dari kafilah-kafilah yang datang dari Timur Jauh merupakan urat nadi daripada kehidupan perniagaan pada masa itu.
Selain yang disebutkan di atas sebab lain yang menyebabkan dapat terus berlangusngnya perdagangan Timur Tengah ini di tengah-tengah berlakunya perang-perang salib adalah bahwa peperangan diabad pertengahan memang mengecualikan orang sipil termasuk pedagang dari permusuhan apalagi warga dari republik atau kerajaan yang tidak terlibat langsung dalam peperangan.
Bahkan dapat dikatakan bahwa perang-perang salib merupakan salah satu sebab penting daripada peningkatan perdagangan dengan Timur Jauh karena mereka yang kembali dari Timur Tengah inilah yang justru membawa kembali dan memperkenalkan barang-barang mewah dari Timur Jauh itu ke dalam lingkungan bangsawan dan masyarakat Eropa.
Jatuhnya Istambul ke tangan Turki di tahun 1453 memperkuat hasrat bangsa-bangsa di Eropa untuk menemukan jalan bahkan dapat dikatakan memaksa mereka melakukannya. Orang Portugis yang berhasil sampai ke kepulauan Maluku melalui Samudera Atlantik, Tanjung Harapan dan India menganggap samudera dan lautan yang mereka lalui sebagai milik mereka.
Demikian pula orang Spanyol yang sampai juga ke kepulauan Maluku melalui Samudera Pasifik setelah mengitari bagian selatan benua Amerika menuntut samudera-samudera tersebut sebagai milik mereka.
Dengan demikian maka Piagam yang kedua dari Paus Alexander VI tahun 1493 yang membagi samudera-samudera dan lautan di dunia antara Portugal dan Sapnyol dapat dianggap sebagai usaha untuk mendamaikan klaim-klaim yang saling bertentangan di atas. Menurut piagam ini segala laut dan samudera disebelah Barat meridian (garis bujur) yang letaknya kurang lebih 400 mil laut dari kepulauan Azores dinyatakan sebagai milik Spanyol, sedangkan yang sebelah Timur meridian tersebut dinyatakan milik Portugis.
Pembagian laut dan samudera yang dilakukan oleh Portugal dan Spanyol yang terutama merupakan cara untuk melarang pihak lain melakukan pelayaran di laut dan samudera yang bersangkutan rupanya tidak pernah berlaku di daerah lautan Utara benua Eropa di mana terdapat klaim “domino maris” daripada kerajaan Denmark, yang selain pengaturan pelayaran juga, meliputi perikanan dan pemberantasan bajak laut. Satu hal yang menarik klaim Denmark ini adalah kemampuan kerajaan Denmark untuk memaksakannya terhadap pihak-pihak lain dan kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan lain seperti misalnya Inggris, Belanda dan Perancis memang mengakui kedaulatan Denmark atas laut antara pantai-pantai Norway di satu pihak dan Denmark serta Greenland di pihak lain.
Kerajaan Inggris masa itu terutama di bawah raja-raja dari Skotlandia juga menganggap lautan sekitar kepulauan Inggris sebagai “dominio maris”. Dorongan utama bagi pendirian ini adalah hasrat untuk melindungi perikanan di perairan Inggris terhadap nelayan-nelayan asing. Untuk maksud lain raja Charles II pernah menyatakan laut diantara kepulauan Inggris (England, Scotland, dan Ireland) sebagai “King’s Chambers” dengan cara pengukuran batas yang menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung ke ujung kepulauan Inggris.
3.      Laut Tertutup (more clausum) lawan laut bebas (mare liberium)
Asas kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberium yang terbit di tahun 1609. buku ini yang mempunyai subjudul “on the right of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda – atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol – untuk mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama raja James I dari Inggris telah mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris. Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya ditujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan reaksi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “battle of the books”.
Para penulis Inggris, Potrugal dan Spanyol yang menentang pendapat Grotius mengemukakan bahwa laut itu dapat dimiliki oleh setiap negara. Sarjana-sarjana tersebut seperti misalnya John Shleden dari Inggris dengan bukunya Mare Clausum (Laut Tertutup) yang membela dan mempertahankan klaim Inggris atas Laut Utara. Demikian pula dengan sarjana Inggris lain seperti William Wellwood dalam bukunya Abridgement of All Sea Law (1613) menentang keras pandangan Grotius.
Tentu saja antara kedua pendapat yang ekstrim itu agak sukar untuk diterima semua pihak dan akhirnya memang jalan kompromi yang mempertemukan kedua pandangan tersebut yakni pada tahun 1704 seorang sarjana hukum berkebangsaan Belanda Cornelis Von Bynkershoek dalam bukunya De Dominia Maris Dissertatio (suatu essay tentang kekuasaan atas laut) mengusulkan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi: “terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis” (kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “battle of the books” antara doktrin “mare liberium” dan “mare clausum”
4.      Toeri Jarak Tembakan Meriam (Lebar Laut Territorial)
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut territorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam; (2) ukuran pandangan mata; (3) ukuran “marine league”. Baru jauh kemudian ukuran 3 mil laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut territorial yang berlaku umum. Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang paling banyak diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula kaedah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.
Pada tahun 1782 dua orang sarjana hukum berkebangsaan Itali Galiani dan Anzuni mengusulkan agar lebar laut territorial suatu negara sejauh tiga mil diukur dari pantai. Jarak tiga mil yang diusulkan ini berkaitan dengan persoalan netralitas yang menjadi persoalan hangat pada waktu perang Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776-1782. Pada waktu itu berkembang pendapat bahwa perang di laut tidak boleh dilakukan dalam jarak tiga mil dari pantai negara netral. Tampaknya jarak tiga mil ini sama dengan jarak tembak meriam pada waktu itu.
Kemudian jarak tiga mil ini mulai diterima oleh para ahli hukum dan negara-negara. Banyak negara yang menetapkan lebar laut territorialnya sejauh tiga mil dari pantai diukur pada waktu air laut surut. Untuk sementara waktu sudah mulai ada kepastian tentang lebar laut territorial ini. Namun lebar laut territorial ini tidak lama bertahan. Pada awal abad XIX beberapa negara mulai mengklaim lebar laut territorial yang melebihi tiga mil. Hal ini berlangsung sampai pertengahan abad XX. Masa ini boleh dikatakan sebagai puncak perlombaan negara-negara dalam mengklaim lebar laut territorial. Usaha untuk menetapkan lebar laut territorial yang saragam bagi semua negara terus dilakukan. Mulai dari pendapat-pendapat para sarjana, kemudian disusul oleh organisasi-organisasi internasional independent seperti ;Institute of International Law, International Law Association, American Society of International Law dan lain sebagainya dan akhirnya oleh organisasi internasional yang anggotanya negara-negara seperti Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun semuanya ini tidak ada yang berhasil menetukan lebar laut territorial.
5.      Konferensi Den Haag 1930
Pada tahun 1930 diadakanlah Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag atas prakarsa dari Liga Bangsa-Bangsa. Salah satu materi hukum internasional yang hendak dikodifikasikan adalah lebar laut territorial. Akan tetapi Konferensi Den Haag 1930 gagal mencapai kata sepakat lebar laut territorial. Akibatnya lebar laut territorial negara-negara tetapi tidak seragam.
6.      Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958
Pada tahun 1958 diadakanlah Konferensi Hukum Laut di Jenewa atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu materi hukum laut yang dibahas adalah lebar laut territorial. Seperti halnya dengan Konferensi Den Haag 1930, maka Konferensi Hukum Laut Jenewa pun gagal mencapai kata sepakat untuk menetapkan lebar laut territorial yang seragam bagi semua Negara.
7.      Konferensi Hukum Laut PBB ke III (1974-1982)
Barulah dalam Konferensi Hukum Laut Internasional 1974-1982 yang juga diprakarsai oleh PBB berhasil mencapai kesepakatan mengenai lebar laut territorial, yaitu maksimum 12 (dua belas) mil laut dari pantai diukur dari garis pangkal. UNCLOS (United Nations Convenstion on the Law of the Sea) adalah suatu perjanjian antara Negara (Konvensi) yang diprakarsai oleh PBB dan mulai dibentuk sejak tahun 1958 yang melahirkan empat buah perjanjian antarnegara yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan di laut yang meliputi;  Laut Territorial dan Zona Tambahan, Perikanan dan Konsevasi Sumberdaya Hayati di Laut Lepas, Landas Kontinen dan Laut Lepas. Adapun 4 Konvensi Jenewa 1958 yaitu:
1.      Konvensi tentang Laut Territorial dan Zona Tambahan;
  1. Konvensi tentang Perikanan dan Konsevasi Sumberdaya Hayati di Laut Lepas;
  2. Konvensi tentang Laut Lepas;
  3. Konvensi tentang Landas Kontinen.
UNCLOS 1982 disepakati pada akhir tahun 1982 di mana ada 119 negara anggota PBB telah menyepakati suatu perjanjian baru yang mengatur tentang pelbagai kegiatan di laut dalam bentuk suatu perjanjian internasional yang konprehensif yang dikenal sebagai United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Selain memperkuat sebagian dari ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958, di mana konvensi ini juga memuat ketentuan-ketentuan tentang hal-hal yang baru seperti konsep Zona Ekonomi Eksklusif dan asas negara Kepulauan serta menetapkan batas-batas bagi Laut Territorial dan Landas Kontinen.
Pada tanggal 31 Desember 1985 Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui pengundangan Undang-Undang No.17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ratifikasi ini, pada tahun 1996, Pemerintah mencabut Undang-Undang No.4/Prp/1960 dan menggantinya dengan Undang-Undang No.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang lebih disesuaikan dengna ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982. Undang-Undang ini kemudian dilengkapi dengan PP No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna yang merubah garis pangkal untuk daerah tersebut sehingga menutup hampir seluruh perairan di sekitar Kepulauan Riau.
Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) bahwa kedudukan Negara kepulauan (archipelagic state) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 47 dapat menggunakan carap penarikan garis pangkal lurus kepulauan  (straight archipelagic base line). Dalam hukum internasional dikenal adanya garis pangkal biasa (normal base line), garis pangkal lurus (straight base line), dan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic base line) (pasal 5,7, dan 47 UNCLOS 1982). Hal ini telah diperkuat oleh Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia di mana untuk negara kepulauan Indonesia dapat digunakan kombinasi ketiga cara penarikan garis di atas.
Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang terluar dari kepulauan Indonesia. Kedudukan negara kepulauan secara yuridis diakui dalam UNCLOS 1982 (Pasal 46):
a)      Negara kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain;
b)      Kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya itu merupakan sautu kesatuan geografi, ekonomi dan politik atau yang secara histories dianggap demikian.


Daftar Pustaka
Kusumaatmaja, Mochtar, 1986, Hukum laut international, Bandung : Binacipta
http://lumentahenry.blogspot.com/2012/03/sejarah-hukum-laut.html