Tuesday, 4 November 2014

eksistensi kemandirian Mahkamah Agung dalam pelakasanaan Kehakiman di Indonesia.



BAB I
PENDAHULUAN
A.                 Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan sa­lah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK. Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah. Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Menurut sistem UUD 1945, fungsi kekuasaan Mahkamah Agung, ialah:
a) Melakukan kekuasaan kehakiman, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
b)Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi.[1]
            Dalam Fungsi Mahkamah Agung berperan dalam pemilihan calon Hakim Agung merupakan salah satu bentuk Kemandirian dari Mahkamah Agaung itu sendiri.tetapi, pada saat ini hal ini masih masih menjadi perdebatan, terkait campur tangan lembaga-lemabaga lain dalam pemilihan Hakmi Agung. Kemandirian  Mahkamah Agung sebagai lembaga Negara dipertanyakan keberadaanya.
   Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.[2]
Berdasarkan teori tersebut jika diakaitkan dengan penetuan dan pengangkatan Hakim Mahakamah Agung, maka timbul suatu masalah, yaitu eksistensi kemandirian Mahkamah Agung dalam pelakasanaan Kehakiman di Indonesia.

B.                 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis mengambil beberapa rumusan masalah, yaitu :
1.      Apakah dalam perekrutan Hakim Agung, Mahkamah Agung dapat dikatakan mandiri?
2.      Apa saja faktor yang mempersulit Mahkamaha Agung untuk Mandiri?
3.      Bagaiamana seharusnya mekanisme perekrutan Hakim Agung terkait dengan kemandirian Mahkamah Agung?

C.                 Tujuan Penulisan
Adapun tulisan dari penulisan ini adalah agar para pembaca mengetahui bagaimana bentuk kemandirian Mahkamah Agung terkait dalam pemilihan Hakim Agung di Indonesia.

















BAB II
ISI
A.                 Perekrutan Hakim Agung
            Judex set lex laguens, sebuah adagium hukum yang bermakna bahwa hakim adalah hukum yang berbicara. Kedudukan hakim dalam sistem kekuasaan kehakiman akan memperlihatkan bagaimana kekuasaan kehakiman akan menegakkan hukum demi memberikan keadilan bagi masyarakat.  Good judges are not born but made, bahwa hakim yang baik adalah hakim yang memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas bukanlah lahir dengan sendirinya, akan tetapi dibentuk. Proses pembentukan hakim tersebut diawali dari rekrutmen orang-orang yang layak untuk mengisinya. Pengaturan Mahkamah Agung di Konstitusi dapat dijumpai di Pasal 24A. Seorang hakim agung dipersyaratkan memiliki integritasdan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Ayat selanjutnya menjelaskan secara expressives verbise bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Di ayat yang kelima, disebutkan bahwa ketentuan selanjutnya diatur dengan undang-undang, yakni undang-undang mahkamah agung. Undang-undang nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menjelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acaranya.  Akan tetapi, terdapat perbedaan antara proses pengisian jabatan hakim agung yang diatur konstitusi dan undang-undang pelaksananya, yakni UU Mahkamah Agung. Konstitusi hanya memberikan DPR kewenangan “memberikan persetujuan”, sedangkan Undang-Undang Mahkamah Agung memberikan DPR bisa memilih.
            Perbedaan tersebut memberikan konsekuensi pada hasil akhir hakim agung yang didapat. Memberi persetujuan dapat diterjemahkan bahwa jumlah calon hakim yang diajukan sudah sesuai dengan kebutuhan, sehingga DPR tinggal memberi persetujuan atas calon hakim agung. Dimana sebelumnya telah ada proses uji seleksi calon hakim agung di Komisi Yudisial, sebagai lembaga yang bersifat mandiri atau independen. Sedangkan legal policy saat ini, memberikan DPR kewenangan memilih satu dari tiga calon yang diusulkan oleh KY. Dengan demikian, hasil proses seleksi fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bisa tersia-siakan karena kewenangan memilih dari DPR. DPR bisa memilih siapa saja, dari tiga nama yang diusulkan untuk satu posisi hakim. Disinilah potensi terjadinya politisasi pengisian jabatan hakim agung, dimana DPR yang akan menjadi penentu akhir nama-nama hakim agung sebelum ditetapkan Presiden. DPR bisa memilih siapa saja, yang menurut mereka paling diangggap relevan. Sehingga proses seleksi oleh Komisi Yudisial yang lebih menitikberatkan pada kemampuan dan profesionalitas hakim di bidang hukum, terderogat oleh proses di DPR yang sarat akan kepentingan politik.[3]

B.                 Sistem Perekrutan Hakim Mahkamah Agung dalam Teori Trias Politica
            Meskipun UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan(separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang.[12] Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan(distribution of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’,[14] yang di dalamnya diatur mengenai“independent and impartial judiciary“. Di dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.[15] Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law”.
            Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing).Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.[4]

            Menilik  dari praktik pengisian jabatan hakim agung di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, ketidaksesuaian antara undang-undang mahkamah agung dengan konstitusi. Perbedaan “memberikan persetujuan”  dan ”dipilih” memberikan disparitas makna dan konsekuensi yang timbul akibat legal policy yang ada. Konstitusi yang merupakan hukum dasar yang menjadi pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi, menurut Miriam Budiarjo adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.Didalamnya terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, kelembagaan negara, pembagian kekuasaan, cita-cita dan ideologi bangsa. Dengan demikian, maka terjadi ketidakkonsistenan akan supremasi konstitusi yang dijunjung tinggi selama ini.

            Lebih lanjut, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tersebut menyalahi hierarki norma hukum. Hans Kelsen yang mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufenbautheorie) berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berasas dari norma hukum yang lebih tinggi dan seterusnya keatas hingga norma dasar. Undang-Undang Mahkamah Agung yang menentukan legal policy tersendiri dan berbeda , telah menyalahi norma hukum dari apa yang telah diamanatkan di Pasal 24A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

            Kedua, proses rekrutmen yang tidak sesuai standar. Menilik kembali penjelasan sebelumnya bahwa suatu proses pengisian jabatan hakim haruslah dicegah dari kepentingan politik. Hal ini tidak lain untuk menciptakan independensi peradilan. Terlebih kemandirian hakim secara fungsional merupakan inti dalam proses penyelenggaraan peradilan. Indikator mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dai kemampuan hakim menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan amanat adanya campur tangan pihak lain dalam proses peradilan.
            Namun, terkait pemilihan hakim agung memang cukup sulit untuk menghindari upaya politisasi. Sebagaimana Christopher E Smith dalam Critical Judicial Nominationsand political change mengingatkan bahwa pencalonan hakim agung biasanya memicu munculnya berbagai kepentingan politik. Anthony blackshield dalam the appointment and removal of federal judges secara tegas menyatakan bahwa pemilihan hakim agung itu politis, Ada tiga pola politisasi.[7] Pertama, pemerintah atau parlemen memilih hakim agung yang memiliki sikap politik yang sama dengan mereka. Kedua, calon hakim agungnya sendiri merupakan anggota parlemen dan aktif dalam partai politik. Ketiga, pemilihan hakim agung atas balas jasa politik. Tiga pola politisasiinilah yang menyebabkan independensi hakim dan peradilan terganggu. Hakim dan peradilan dibuat tunduk pada kepentingan politik,sehingga independensi dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara akan dipertanyakan.
            Oleh karena itu, untuk memperkuat independensi kekuasaan kehakiman, maka mekanisme pemilihan hakim agung harus di desain untuk meminimalisasi upaya politisasi. Yakni prinsip transparansi dan akuntabilitas mutlak ditegakkan, serta memperhatikan juga berbagai prinsip-prinsip standar diberbagai instrumen internasional.
            Pertama, yang dilakukan adalah merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, DPR diberi kewenangan sesuai dengan kewenangan yang telah diatur dalam undang-undang. Yakni jumlah hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial harus sesuai dengan kebutuhan hakim agung. Mekanisme pengusulan tiga orang hakim memberi konsekuensi bagi DPR hanya akan memilih satu. Padahal, DPR hanya berwenang memberi persetujuan, bukan memilih hakim agung. Dengan demikian, dapat terhindar dari upaya politisasi dalam rekrutmen hakim agung sesuai dengan international standars on judicial reform and judicial independence.
            Kedua, mekanisme pengisian jabatan hakim agung dilakukan oleh komisi yudisial untuk kemudian diuji kepatutan dan kelayakannya serta diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan sebelum ditetapkan oleh Presiden. Dalam tahap ini, Komisi Yudisial harus secara tegas menentukan kriteria calon hakim agung dan prosesnya harus berpegang teguh pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.[5]





BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
            Kemandirian Mahkamah Agung dalam pelaksanaan kehakiman di Indonesia saat ini masih dalam perdebatkan. Terkait, mengenai pmekanisme perekrutan Hakim Agung Mahkamah Agung. Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.

B.     Saran
            Menurut Penulis, seharusnya pemilihan Hakim Agung dilaksanakan seluruhya oleh Lembaga Kehakiman, dalam hal ini Komisi Yudisial. Agar Chek and balances  tetap dapat dilaksanakan, maka  pertimbangan Presiden boleh diberlakukan.



















DAFTAR PUSTAKA
Website

akhyaroni fuadahKonstitusionalitas Rekrutmen Hakim Agung”

http://nidsmozaik.wordpress.com/2013/10/28/konstitusionalitas-rekrutmen-hakim-agung/


Kusnu Goesniadhie SPRINSIP DASAR KEKUASAAN KEHAKIMAN”  

http://kgsc.wordpress.com/prinsip-dasar-kekuasaan-kehakiman/




[1]               Kusnu Goesniadhie S prinsip dasar kekuasaan kehakiman” http://kgsc.wordpress.com/prinsip-dasar-kekuasaan-kehakiman/ diakses pada tanggal 28 Oktober pukul 23.00

[2]               Kusnu Goesniadhie SPRINSIP DASAR KEKUASAAN KEHAKIMAN” http://kgsc.wordpress.com/prinsip-dasar-kekuasaan-kehakiman/ diakses pada tanggal 29 Oktober pukul 07.06 Wib

[3]               akhyaroni fuadahKonstitusionalitas Rekrutmen Hakim Agung” http://nidsmozaik.wordpress.com/2013/10/28/konstitusionalitas-rekrutmen-hakim-agung/ diakses pada tanggal 29 Oktober 2014 pukul 07.41 Wib

[4]      Kusnu Goesniadhie SPRINSIP DASAR KEKUASAAN KEHAKIMAN” http://kgsc.wordpress.com/prinsip-dasar-kekuasaan-kehakiman/ diakses pada tanggal 29 Oktober pukul 07.56 Wib


[5]           akhyaroni fuadahKonstitusionalitas Rekrutmen Hakim Agung” http://nidsmozaik.wordpress.com/2013/10/28/konstitusionalitas-rekrutmen-hakim-agung/ diakses pada tanggal 29 Oktober 2014 pukul 08.09 Wib


Sunday, 28 September 2014

Contoh Replik


REPLIK
Banda Aceh, 19 September 2014
Kepada Yth,
Ketua Majelis Hakim Yang Memeriksa
Perkara Perdata Nomor: 02/Pdt.G/2014/PN-Bna
Pengadilan Negeri Banda Aceh
Di –
            Jalan Cut Mutia Nomor 23 Banda Aceh

Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama                                       : Melisa, S.H                        
Pekerjaan                                 : Advokat
Alamat                                      : Jalan Daud Beureueh Nomor 46 Banda Aceh

Berdasarkan Surat Kuasa khusus tanggal 08 September 2014 (terlampir) adalah Penerima Kuasa, dan karenanya bertindak untuk dan atas nama Pemberi kuasa, yakni:

Nama                                       : Aliansyah                             
Pekerjaan                                 : Swasta
Umur                                       : 39
Alamat                                     : Jalan Gabus Nomor 10 Banda Aceh

MELAWAN

Nama                                       : Badruna
Pekerjaan                                 : Wiraswasta
Umur                                       : 42
Alamat                                    : Jalan Syiah Kuala Nomor 25 Banda Aceh

Sehubungan dengan Jawaban Tergugat, maka dengan ini Pengugat menyampaikan Replik sebagai berikut:

EKSEPSI

1.      Bahwa penggugat menolak seluruh dalil-dalil Eksepsi dan Jawaban tergugat.
2.      Bahwa Gugatan penggugat yang diajukan sudah tepat dan jelas, baik mengenai subjek dan objek Hukum secara normal
3.      Bahwa apa yang di nyatakan oleh tergugat dalam eksepsi point 5 tidaklah benar, pada tanggal 18 maret 2014 penggugat tidak bertemu tergugat, dan tergugat menyatakan telah membayar 75% hutangnya itu tidak dibayar hutangnya sama sekali dan itu tidak benar..

DALAM POKOK PERKARA

1.      Bahwa pada prinsipnya penggugat secara tegas menolak seluruh dalil-dalil jawaban tergugat.
2.      Bahwa Penggugat tetap pada gugatannya yang bahwa tergugat telah memenuhi tanggungjawabnya yang mana tidak mengindahkan perjanjian untuk membayar seluruh hutangnya pada waktu yang telah diperjanjikan, dan beberapa kali mengingkari nya dengan berbagai alasan.
3.      Bahwa apa yang dikatakan penggugat dalam surat gugatan adalah benar.
4.      untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan terhadap perkara ini nantinya, maka beralasanlah menurut hukum jika harta kekayaan Tergugat, baik yang berupa barang bergerak maupun tidak bergerak diletakkan dibawah sita jaminan (conservatoir beslag), dan Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Banda aceh untuk memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan Tergugat tersebut.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas kiranya cukup alasan untuk mengabulkan suatu keputusan dan sekaligus memohon kepada Ketua Majelis Hakim yang mengadili perkara ini untuk memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :

DALAM EKSEPSI.

1.      Menolak seluruh dalil-dalil Tergugat.
2.      Menyatakan bahwa Gugatan Penggugat dapat diterima secara hukum.

DALAM POKOK PERKARA

1.      Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2.      Menolak seluruh Eksepsi dan Jawaban Tergugat.
3.      Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah terbukti melakukan wansprestasi.
4.      Menyatakan sah dan berharga atas sita jaminan (conservatoir beslag) yang dilakukan terhadap harta kekayaan Tergugat.
5.      Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.

Atau Jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya menurut hukum.

Demikianlah Replik penggugat ini disampaikan, atas perhatian Majelis Hakim yang diucapkan terima kasih.



Hormat Kuasa Hukum Penggugat


            (Melisa, SH.)