BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum
adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas
dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman
sebagai penyelenggara negara merupakan salah satu badan penyelenggara negara,
di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK. Sebagai badan penyelenggara
negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara
negara yang lain. Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman
tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan
penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada
susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah. Kekuasaan kehakiman tertinggi
dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada
di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Menurut sistem UUD 1945, fungsi kekuasaan Mahkamah Agung, ialah:
a) Melakukan kekuasaan kehakiman, yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung melalui
penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial.
b)Dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi dan
rehabilitasi.[1]
Dalam
Fungsi Mahkamah Agung berperan dalam pemilihan calon Hakim Agung merupakan
salah satu bentuk Kemandirian dari Mahkamah Agaung itu sendiri.tetapi, pada
saat ini hal ini masih masih menjadi perdebatan, terkait campur tangan
lembaga-lemabaga lain dalam pemilihan Hakmi Agung. Kemandirian Mahkamah Agung sebagai lembaga Negara
dipertanyakan keberadaanya.
Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation
of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh
Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia
sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation
of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan
dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan
kesederajatan, agar tercipta harmonisasi
kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan
kekuasaan.[2]
Berdasarkan teori tersebut
jika diakaitkan dengan penetuan dan pengangkatan Hakim Mahakamah Agung, maka
timbul suatu masalah, yaitu eksistensi kemandirian Mahkamah Agung dalam
pelakasanaan Kehakiman di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis mengambil beberapa
rumusan masalah, yaitu :
1. Apakah dalam perekrutan Hakim Agung,
Mahkamah Agung dapat dikatakan mandiri?
2. Apa saja faktor yang mempersulit
Mahkamaha Agung untuk Mandiri?
3. Bagaiamana seharusnya mekanisme
perekrutan Hakim Agung terkait dengan kemandirian Mahkamah Agung?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tulisan dari penulisan ini adalah agar para
pembaca mengetahui bagaimana bentuk kemandirian Mahkamah Agung terkait dalam
pemilihan Hakim Agung di Indonesia.
BAB II
ISI
A.
Perekrutan
Hakim Agung
Judex set
lex laguens,
sebuah adagium hukum yang bermakna bahwa hakim adalah hukum yang berbicara.
Kedudukan hakim dalam sistem kekuasaan kehakiman akan memperlihatkan bagaimana
kekuasaan kehakiman akan menegakkan hukum demi memberikan keadilan bagi
masyarakat. Good judges are not born but made, bahwa hakim yang baik
adalah hakim yang memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas bukanlah
lahir dengan sendirinya, akan tetapi dibentuk. Proses pembentukan hakim
tersebut diawali dari rekrutmen orang-orang yang layak untuk mengisinya. Pengaturan
Mahkamah Agung di Konstitusi dapat dijumpai di Pasal 24A. Seorang hakim agung dipersyaratkan
memiliki integritasdan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum. Ayat selanjutnya menjelaskan secara expressives verbise bahwa calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Di ayat yang kelima,
disebutkan bahwa ketentuan selanjutnya diatur dengan undang-undang, yakni
undang-undang mahkamah agung. Undang-undang nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung menjelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, kedudukan,
keanggotaan, dan hukum acaranya. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara
proses pengisian jabatan hakim agung yang diatur konstitusi dan undang-undang
pelaksananya, yakni UU Mahkamah Agung. Konstitusi hanya memberikan DPR
kewenangan “memberikan persetujuan”, sedangkan Undang-Undang Mahkamah Agung
memberikan DPR bisa memilih.
Perbedaan tersebut memberikan konsekuensi pada hasil
akhir hakim agung yang didapat. Memberi persetujuan dapat diterjemahkan bahwa
jumlah calon hakim yang diajukan sudah sesuai dengan kebutuhan, sehingga DPR
tinggal memberi persetujuan atas calon hakim agung. Dimana sebelumnya telah ada
proses uji seleksi calon hakim agung di Komisi Yudisial, sebagai lembaga yang
bersifat mandiri atau independen. Sedangkan legal policy saat ini, memberikan
DPR kewenangan memilih satu dari tiga calon yang diusulkan oleh KY. Dengan
demikian, hasil proses seleksi fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial bisa tersia-siakan karena kewenangan memilih dari DPR. DPR bisa
memilih siapa saja, dari tiga nama yang diusulkan untuk satu posisi hakim.
Disinilah potensi terjadinya politisasi pengisian jabatan hakim agung, dimana
DPR yang akan menjadi penentu akhir nama-nama hakim agung sebelum ditetapkan
Presiden. DPR bisa memilih siapa saja, yang menurut mereka paling diangggap
relevan. Sehingga proses seleksi oleh Komisi Yudisial yang lebih
menitikberatkan pada kemampuan dan profesionalitas hakim di bidang hukum,
terderogat oleh proses di DPR yang sarat akan kepentingan politik.[3]
B.
Sistem
Perekrutan Hakim Mahkamah Agung dalam Teori Trias Politica
Meskipun UUD 1945
tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan(separation of power) ‘Trias
Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan
kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara
hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan
tidak terlaksana secara sewenang-wenang.[12] Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation
of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya
untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain,
kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah,
sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan
tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan
kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation
of power) atau stelsel pembagian kekuasaan(distribution
of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio
sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya
pemerintahan negara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat
dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan ‘International
Covenant on Civil and Political Rights’,[14] yang di dalamnya diatur mengenai“independent and
impartial judiciary“. Di dalam Universal
Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article
10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public
hearing by in independent and impartial tribunal in the determination of his
rights and obligations and of any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan
suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak
memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap
tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.[15] Di dalam International Covenant on Civil and
Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal
charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone
shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and
impartial tribunal established by law”.
Unsur-unsur
yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu
peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu
harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan
diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing).Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD
1945 sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang
Kekuasaan Kehakiman.[4]
Menilik
dari praktik pengisian jabatan hakim agung di Indonesia, ada beberapa hal
yang perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, ketidaksesuaian antara
undang-undang mahkamah agung dengan konstitusi. Perbedaan “memberikan
persetujuan” dan ”dipilih” memberikan disparitas makna dan konsekuensi
yang timbul akibat legal policy yang ada. Konstitusi yang merupakan hukum dasar
yang menjadi pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi, menurut
Miriam Budiarjo adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan
merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.Didalamnya terdapat berbagai
aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, kelembagaan negara, pembagian
kekuasaan, cita-cita dan ideologi bangsa. Dengan demikian, maka terjadi
ketidakkonsistenan akan supremasi konstitusi yang dijunjung tinggi selama ini.
Lebih lanjut,
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tersebut menyalahi hierarki
norma hukum. Hans Kelsen yang mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma
hukum (stufenbautheorie) berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang dan berlapis-lapis, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berasas dari norma hukum yang lebih tinggi dan seterusnya keatas
hingga norma dasar. Undang-Undang Mahkamah Agung yang menentukan legal policy
tersendiri dan berbeda , telah menyalahi norma hukum dari apa yang telah
diamanatkan di Pasal 24A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Kedua, proses rekrutmen yang tidak
sesuai standar. Menilik kembali penjelasan sebelumnya bahwa suatu proses
pengisian jabatan hakim haruslah dicegah dari kepentingan politik. Hal ini tidak
lain untuk menciptakan independensi peradilan. Terlebih kemandirian hakim
secara fungsional merupakan inti dalam proses penyelenggaraan peradilan.
Indikator mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dai
kemampuan hakim menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya
dalam menjalankan amanat adanya campur tangan pihak lain dalam proses
peradilan.
Namun,
terkait pemilihan hakim agung memang cukup sulit untuk menghindari upaya
politisasi. Sebagaimana Christopher E Smith dalam Critical Judicial
Nominationsand political change mengingatkan bahwa pencalonan hakim
agung biasanya memicu munculnya berbagai kepentingan politik. Anthony
blackshield dalam the appointment and removal of
federal judges secara tegas menyatakan bahwa
pemilihan hakim agung itu politis, Ada tiga pola politisasi.[7] Pertama, pemerintah atau
parlemen memilih hakim agung yang memiliki sikap politik yang sama dengan
mereka. Kedua, calon hakim agungnya sendiri merupakan anggota parlemen dan
aktif dalam partai politik. Ketiga, pemilihan hakim agung atas balas jasa
politik. Tiga pola politisasiinilah yang menyebabkan independensi hakim dan
peradilan terganggu. Hakim dan peradilan dibuat tunduk pada kepentingan
politik,sehingga independensi dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara
akan dipertanyakan.
Oleh karena itu, untuk memperkuat independensi kekuasaan
kehakiman, maka mekanisme pemilihan hakim agung harus di desain untuk
meminimalisasi upaya politisasi. Yakni prinsip transparansi dan akuntabilitas
mutlak ditegakkan, serta memperhatikan juga berbagai prinsip-prinsip standar
diberbagai instrumen internasional.
Pertama, yang dilakukan adalah merevisi
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, DPR diberi kewenangan
sesuai dengan kewenangan yang telah diatur dalam undang-undang. Yakni jumlah
hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial harus sesuai dengan kebutuhan hakim
agung. Mekanisme pengusulan tiga orang hakim memberi konsekuensi bagi DPR hanya
akan memilih satu. Padahal, DPR hanya berwenang memberi persetujuan, bukan
memilih hakim agung. Dengan demikian, dapat terhindar dari upaya politisasi
dalam rekrutmen hakim agung sesuai dengan international standars on
judicial reform and judicial independence.
Kedua, mekanisme pengisian jabatan
hakim agung dilakukan oleh komisi yudisial untuk kemudian diuji kepatutan dan
kelayakannya serta diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan sebelum ditetapkan
oleh Presiden. Dalam tahap ini, Komisi Yudisial harus secara tegas menentukan
kriteria calon hakim agung dan prosesnya harus berpegang teguh pada prinsip
transparansi dan akuntabilitas.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemandirian Mahkamah Agung dalam
pelaksanaan kehakiman di Indonesia saat ini masih dalam perdebatkan. Terkait,
mengenai pmekanisme perekrutan Hakim Agung Mahkamah Agung. Ditinjau dari doktrin
pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang
merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah
kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan
melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari
pemerintah.
B.
Saran
Menurut Penulis, seharusnya
pemilihan Hakim Agung dilaksanakan seluruhya oleh Lembaga Kehakiman, dalam hal
ini Komisi Yudisial. Agar Chek and balances
tetap dapat dilaksanakan, maka
pertimbangan Presiden boleh diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Website