Tiba-tiba saja secara perlahan daging itu tumbuh menjadi gergaji yang sangat
besar, menyerupai raksasa. Kedua putri itu menjadi takut. Apalagi, ketika
mendengar suara gergaji yang bergelegar saat berbicara pada mereka.
“Buka pintu! Buka pintu! Ini dia aroma Putri Bangsu,” kata gergaji.
Di tengah rasa takut, masih ada ide dari kedua putri itu. Mereka mencoba
menyahut setiap kali Gergaji berbicara. Katanya “Sebentar Kakek Gergaji,
sebentar lagi akan kubukakan pintu untukmu. Sabarlah, aku akan memasak nasimu
terlebih dahulu.”
Menyahut lagi Gergaji, “Iya, aku ingin makan banyak. Masak yang banyak, ya?”
“Seberapa banyak Kakek, kira-kira satu bambu, cukup?” Putri bertanya lagi.
“Kalau segitu tidak cukup untuk tahi gigiku pun,” kata gergaji lagi dari balik
pintu. Sambil bicara, Gergaji mendorong pintu terus menerus. Begitu juga dengan
kedua putri tersebut, sambil berbicara mereka mencari akal untuk bisa melarikan
diri. Ditanyanya lagi pada Gergaji. “Jadi, jika kumasak berapa banyak baru
cukup kek, dua bambu cukup?”
“Segitu? Tidak cukup untuk sugiku pun,” sahut Gergaji.
Ketika itu, kedua putri sudah menemukan ide. Mereka memanggil kucingnya.
“Cing!
Cing! Cing!, kami akan pergi dari sini. Setelah kami pergi jauh tolong bukakan
pintu untuk setan Gergaji yang ada di luar,” kata Putri pada kucingnya.
Sebelum pergi, kedua putri itu terlebih dahulu memasang ranjau di balik pintu.
Ranjau itu dibuat dari kukuran kelapa. Kiranya, jika setan Gergaji masuk, akan
terperangkap ranjau tersebut.
Singkat cerita, kedua putri itu pergi jauh, kucing pun membukakan pintu untuk
setan Gergaji. Setelah itu, kucing langsung melompat dengan lincah. Setan
Gergaji terperangkap di aras ranjau kukuran kelapa, karena dipikirnya kedua
putri yang membukakan pintu untuknya.
“Rupanya bukan Putri Bungsu. Mana Putri Bungsu?” kata setan Gergaji sambil
berjalan ke dapur. Dilihatnya juga tidak ada masakan apa-apa di dapur. Setan
Gergaji memang lebih menyukai si Bungsu dari pada kakaknya.”Katanya tadi mau
memasak nasi untukku, rupanya tidak ada nasi di sini,” ujar Gergaji lagi.
Kedua putri telah berlari jauh hingga ke tepian sungai. Di tepi sungai,, mereka
bertemu dengan tukang Perahu. Kedua putri itu pun menyapanya. ”Abang-Abang
tukang perahu, tolonglah kami. Tolong sembunyikan kami, karena kami sedang
dikejar setan Gergaji.”
Abang tukang perahu menolong mereka. Keduanya disembunyikan ke bawah telungkup
perahu buatannya. Sayagnya, bayangan keduanya memantul di dalam air. Sedangkan
si Gergaji sudah tiba menyusul.
“Muh…! Ini bau Putri Bungsu. Abang-abang tukang perahu, apakah ada di sini
Putri Bungsu? Di sini aku mencium ada aroma Putri Bungsu,” tanya setan Gergaji.
“Ada. Itu dia bersembunyi di dalam air, carilah ke situ,” kata tukang perahu
pada Setan Gergaji sambil menunjuk bayangan Putri Bungsu di dalam air.
Setan Gergaji menyelam, tapi dia tidak berhasil menemukan putri. Yang ada, dia
hanya kedinginan karena terlalu lama berada dalam air. Kemudian dia keluar
dengan bibir bergetar, badan sudah menggigil, kedinginan. “Kenapa tidak ada?
Padahal aku ada melihatnya di sana,” kata Gergaji pada Abang tukang perahu.
Karena melihat Gergaji kedinginan, Abang tukang perahu mulai menawarkan jasa.
“Dingin ya, Kek?”
“I…i…ya,”
“Apa perlu selimut, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“Iya,” jawab Gergaji singkat.
Kemudian Abang tukang perahu menyelimuti Gergaji dengan ijuk yang sangat tebal.
Ia bertanya lagi, “ Apa masih dingin juga, Kek?”
“I…i…ya.” jawab gergaji lagi, dengan mulut bergetar.
“Apa perlu saya nyalakan api, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“I..i..ya.”
Kemudian tukang perahu menyalakan api pada ijuk yang ada di badan Gergaji
hingga Geraji terbakar.
“Apa sudah terasa hangat, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“Sedikit.”
Tukang perahu menyulut api semakin besar hingga akhirnya Gergaji terbakar
sampai menjadi arang. Tapi Gergaji masih bisa bicara. Sampai arangnya digiling
dia masih tetap bicara.” Yah, ini dia bau Putri Bungsu.” katanya. Padahal, dia
sudah mati.
“Dik, sekarang setan Gergajinya sudah mati. Kalian berdua sudah boleh pergi.
Memangnya kalian mau kemana?” tanya tukang perahu pada kedua putri.
“ Abang tukang perahu, kami ini anak yatim piatu, tidak punya apa-apa. Mau
pergi ke mana juga kami belum tahu,” kata Putri yang lebih tua. “Kami pernah
mendapat amanah dari ibu, kami tidak boleh berpisah. Jika memang harus
terpisah, kami sudah dilengkapi dengan perlengkapan dan bekal masing-masing.
Satu ke langit ke Bujang Jere, satu ke Hilir ke Malim Dewa.”
Karena kasihan, tukang perahu memberikan sebuah perahu pada keduanya. Memang,
mereka mempunyai perhiasan lengkap. Gelang emas, kalung, sanggul, dan baju yang
cantik pula. Layaknya pengantin di atas pelaminan. Mereka memang seorang putri
yang akan segera berjodoh. Jodoh si sulung di langit, Bujang Jere, sedangkan si
bungsu berjodoh di Hilir, dengan Malim Dewa.
Adiknya mempunyai watak yang keras kepala, ingin menang sendiri karena masih
ada lengket sifat manja. Akhirnya, mereka diberikan perahu oleh abang tukang
perahu. Tinggallah mereka di sana. Mereka hanyut bersama perahu.
Dalam perahu itu ada sebuah jambu kelutuk yang besar dan terlihat sangat lezat.
Putri yang tertua sedang tertidur. Buah itu ditemukan oleh putri bungsu. Pada
awalnya putri yang bungsu sudah membelah buah tersebut dengan niat untuk
membagi pada kakaknya. Tapi, ternyata buah itu memang sangat lezat, akhirnya
dia lupa meninggalkan untuk kakaknya.
Seketika kakaknya bangun tidur dan melihat ada bekas makanan di mulut adiknya.
Kakanya bertanya, “ Adik, baru makan apa?”
Adiknya. “Aku tidak memakan apa-apa, Kak.”
Mendengar jawaban adiknya, si kakak sangat kecewa karena kebohongan itu
menunjukkan adiknya tidak setia pada kakaknya. Hal ini membuat kakaknya menjadi
sedih. Hingga kakaknya mengutarakan niat untuk berpisah pada adiknya.
“Adikku, mulai saat ini lebih baik kita berpisah. Kamu telah membohongi kakak.
Aku ke langit, ke Bujang Jere, kamu ke Hilir ke Malim Dewa” katanya.
Dengan sedih dan penuh penyesalan, adiknya harus menerima keputusan si kakak.
Karena memang dia yang salah. Pesan kakaknya, “Adikku, jika aku sudah terbang,
jangan panggil lagi. Karena aku takut pintu langit akan tertutup dan aku tidak
dapat pergi.” Setelah itu, kakaknya langsung terbang. Adiknya menangis sedih.
Tidak tahan berpisah dari kakanya, adiknya mulai memanggil-manggil kakaknya. Ia
memanggil di kakak sambil meratap. “Kakakku pulanglah, gelang emasku terjatuh,
tolong ambilkan.”
Mendengar adiknya memanggil, si kakak berbalik lagi untuk memasangkan gelang
adiknya. Tapi setelah itu kakaknya terbang lagi, sambil kembali berpesan, “
Adik, jangan lagi panggil kakak, karena sebentar lagi pintu langit akan
tertutup.”
Sebentar kakaknya terbang, adiknya menangis lagi. “Kakak, kakakku, pulanglah,
pulang, kalung emasku dan sanggulku terjatuh, tolong dirapikan lagi.”
Sesaat setelah itu, kakaknya datang lagi dan membenarkan semua perlengkapan
adiknya. Kemudian dengan cepat dia pergi lagi, tak lupa kakaknya berpesan untuk
tidak memanggilnya lagi. Satu pesan terakir dia, ”Adik, jika nanti engkau
berperahu ke hilir, jangan berhenti di bawah pohon gele, itu tempat Tuntung
Kapur yang jahat. Biarpun cuaca panas dan kamu benar-benar capek, jangan sesekali
kamu berhenti di tempat itu.”
“Iya,” jawab adiknya.
Sesaat kakaknya terbang, lagi-lagi adiknya menangis dan memanggil lagi, tapi
kali ini kakaknya menutup rapat kupingnya agar tidak mendengar tangisan
adiknya. Setelah itu, kakaknya tidak kembali lagi. Adiknya hanya menangis dan
menyesali perbuatannya yang telah membuat kakaknya marah. Bungsu terus
menangis. Di dayungnya perahunya dengan elegi tangisan. ”So…so…perahu berdeso.
Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Perahunya terus berjalan. Tiba-tiba sampailah putri bungsu pada pohon gele,
“Wah, berteduh di bawah pohon ini sejuk sekali,” batin Putri Bungsu. Hingga
akhirnya dia lalai dan bermain-main di situ. Putri bungsu mengikat perahunya
dan dia memanjat pohon yang lagi berbuah. Dia betul-betul dilalaikan oleh
suasana yang indah dan buah-buah pohon yang lezat.
Di rumah Tuntung Kapur, Tuntung Kapur disuruh ayahnya mengambil air ke telaga
yang berada di pinggiran sungai, tepat berada di bawah pohon yang di panjat
oleh Putri Bungsu.
“Nak, tolong ambilkan air,” perintah ayahnya.
Tuntung Kapur malah menjawab dengan makian untuk ayahnya. ”Aduh, Ayah ini
kurang ajar sekali, masa aku yang cantik disuruh-suruh mengambil air,” katanya.
Tuntung Kapur sangat terkenal jahat, miskin, malas, sombong, dan segala sifat
jahat melekat padanya. Tuntung Kapur terus membantah. Namun, akhirnya dia mau
juga mengambil air setelah berulang kali diperintahkan ayahnya.
Dengan sebuah labu di tangannya, dia berangkat ke telaga. Sampai ke telaga, dia
melihat bayangan yang sangat cantik. Dia berpikir kalau itu adalah bayangan
wajahnya. Padahal, itu adalah bayangan Putri Bungsu yang berada di atas pohon.
Melihat bayangan yang sangat cantik, Tuntung Kapur langsung memecahkan labu
yang dibawanya. Lagi-lagi ia memaki-maki ayahnya yang telah menyuruhnya
mengambilkan air ke telaga. Dalam hatinya, orang yang cantik seperti dia
seharusnya tidak patut disuruh-suruh. Tuntung Kapur pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Tuntung Kapur ditanyai oleh ayahnya. ”Mana airnya?”
Tuntung Kapur menjawab dengan berbohong. “Ayah, aku tidak membawa air karena
aku dikejar kuda dan labu yang kubawa tadi sudah pecah,” kata Tuntung Kapur.
Ayahnya memberi labu yang baru dan menyuruh Tuntung Kapur mengambil air lagi.
Sesampai di telaga, Tuntung Kapur tidak langsung pulang, dia lalai melihat
bayangan wajah cantik yang ada dalam telaga dan dia masih berpikir kalau itu
adalah bayangan wjahnya. Akhirnya, labu kedua juga dipecahkan oleh Tuntung
Kapur. Kemudian, dia pulang dan memberikan alasan yang sama pada ayahnya.
Ayahnya menyuruh lagi mengambil air, tapi kali ini ayahnya memberikan labu yang
terbuat dari kulit yang anti pecah. Kejadian tidak jauh berbeda. Sesampai di
telaga, Tuntung Kapur hanya memandangi bayangan yang ada dalam air, kemudian
timbul lagi kebencian pada ayahnya. Tuntung Kapur kembali ingin memecahkan labu
yang dibawanya. Diambilnya batu dan labu pun diketok. Tapi tidak berhasil.
Berkali-kali diketok, tetap juga tidak berhasil. Sampai dia capek dan tidak
berdaya lagi.
Melihat kejadian itu, sontak putri yang ada di atas pohon tertawa
terkikik-kikik. Gara-gara itu pula, Tuntung Kapur mengetahui keberadaan putri
di atas pohon.
Saat Tuntung Kapur melihat, ”Ternyata ada putri cantik. Turunlah putri. Ayo,
Turunlah agar kita bisa mandi bersama-sama di sungai. Aku punya sampo jeruk
purut kasturi, taik ayam taik biri,” kata Tuntung Kapur pada Putri.
Namun, putri belum juga mau turun. Tuntung Kapur memaksa. ”Turunlah Putri,
kalau putri tidak mau, kucubit sampai kulit-kulit putri terkoyak,” ancam Tuntung
Kapur. Karena takut dengan ancaman Tutung Kapur, putri pun akhirnya turun.
“Putri, ayo kita mandi, memakai sampo dan kita lomba menyelam. Ayo, Putri harus
cepat-cepat membuka baju melepas semua perhiasan dan turun duluan ke sungai.
Setelah putri menyelam aku akan menyusul,” kata Tutung Kapur.
Dengan lugunya, putri langsung melepas semua perhiasan dan menceburkan diri ke
dalam sungai. Selain itu, putri juga menyelam dengan sangat lama, berharap ia
akan menjadi pemenang. Sedangkan Tuntung Kapur ternyata tidak mandi. Tuntung
Kapur memakai semua pakaian dan perhiasan milik putri. Ketika putri selesai
menyelam, Tuntung Kapur telah siap dengan perlengkapan milik putri. Melihat
itu, putri sedih. Dia baru teringat pesan kakaknya.
”Putri, bajunya aku pinjam, ya? Sepertinya aku cantik memakai baju milik
Putri,” kata Tutung Kapur.
“Tapi baju untukku mana, aku tidak punya baju yang lain.”
“Putri pakai saja bajuku, kita tukaran sebentar, ya.”
Baju milik Tuntung Kapur adalah baju yang sangat jelek, seperti jala ikan yang
sudah terkoyak-koyak. Sedangkan baju putri adalah baju yang bersulam emas.
Putri menangis, menyesali dirinya yang tidak mau mendengar nasihat kakaknya.
“Ih, Putri, jangan menangis. Kenapa harus menangis, aku hanya meminjam
sebentar. Putri lucu ya,” Tuntung Kapur merayu.
Dengan girang, kemudian Tuntung Kapur berlari pulang, memamerkan kecantikan
baju yang dia pakai pada ayah dan ibunya. “ Ayah, aku mau pergi ke hilir
bersama dengan temanku. Dia datang khusus untuk menjemputku dari jauh,” kata
Tutung Kapur. Ia berniat mengikuti putri ke mana tujuannya.
Sekembalinya ke sungai, Tutung Kapur melihat putri masih menangis sambil
meminta bajunya. “Kembalikan bajuku,” pinta Putri.
Tapi Tuntung Kapur malah tidak peduli dengan permintaan putri. Lagi-lagi dia
mengancam. “Putri, aku sudah bilang mau pinjam sebentar. Kalau memang putri
tidak memberi, biar kucubit sampai terkoyak kulit putri.”
Mendengar ancaman itu, putri hanya diam. Tuntung Kapur lalu mengajak putri
untuk cepat-cepat naik ke atas perahu agar bisa lebih cepat meninggalkan tempat
itu. Sesampai di atas perahu, perahu tidak bergerak sedikit pun. Tuntung Kapur
jadi heran.
“Putri, bagaimana caranya? Ayo cepat, ajari aku. Setelah aku bisa nanti, aku
akan membawa sendiri perahu ini,” katanya.
Putri menangis lagi, sambil dia bernyanyi. ”So…so…perahu berdeso, Kakakku ke
langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Sesaat perahu pun berlaju. Kemudian Tuntung Kapur juga ikut bernyanyi,
menyanyikan lagu yang sama. Akibatnya, perahu berhenti dan tidak bergerak lagi.
Dengan kejadian itu, Tuntung Kapur sepanjang perjalanan hanya diam saja.
Sesampai ke hilir, kabar kedatangan Putri Bungsu ternyata sudah tersebar ke
seluruh penjuru, hingga beramai-ramai masyarakat menungguinya di pemberhentian.
Setiap orang ingin melihat langsung Putri Bungsu yang sudah terkenal
kecantikannya. Sedangkan Tuntung Kapur tidak mau lagi mengganti baju dan segala
perhiasan milik Putri Bungsu masih tetap dikenakannya.
Tibalah Tuntung Kapur dan Putri Bungsu di kampung yang dituju. Malim Dewa sang
pangeran pun sudah siap menunggu. Tapi kenyataan menjadi berbeda, Tuntung Kapur
malah mengaku menjadi Putri Bungsu. Putri sendiri dikatakan hanya sebagai
pesuruhnya. Sedangkan Putri Bungsu tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya
menangis mengingat dirinya yang tidak patuh pada nasihat kakaknya.
Malim Dewa punya inisiatif baik, ia juga membawa Putri Bungsu ke istana,
sekalian dengan Tuntung Kapur. Sesampai di istana, pesta besar pun digelar.
Tuntung Kapur menikah dengan Malim Dewa. setelah menikah, Malim Dewa belum juga
tahu bahwa yang dinikahinya bukan Putri Bungsu yang sebenarnya. Putri yang
sebenarnya hanya dijadikan sebagai pesuruh.
Seminggu berselang, kerabat sudah mulai pulang, rumah Malim Dewa menjadi sepi.
Malim Dewa meminta istrinya memasak seekor ayam. Dasar Tuntung Kapur yang tidak
pernah bekerja dan tidak pernah memasak ayam, malah yang dimasaknya adalah
bulu-bulu ayam, sedangkan daging ayamnya dilempar ke luar, diberikannya pada
Putri Bungsu. Kemudian Putri Bungsu memasak daging ayam dan merasa senang
karena bisa makan enak. Saat masakan putri bungsu mendidih, masakannya bisa
berbicara. “Dek-dek kuali, raja menjadikan Tuntung Kapur sebagai istri… Putri
Bungsu jadi pembantu,” begitulah ucapan-ucapan yang keluar dari masakan Putri
Bungsu.
Mendengar itu, Tuntung Kapur naik pitam. Dia meminta suaminya untuk membuang
pembantunya itu ke tengah hutan. Kemudian semua masyarakat dikumpulkan untuk
mengarak Putri Bungsu ke hutan. Sesampai di hutan, putri Bungsu dibuang.
Setelah semua orang pergi, putri menangis tiada henti sambil meratap dan
menceritakan segala kisah hidupnya.
“Alahai nasibku yang tidak sama dengan orang, anak tiada, ibu pun tiada,
berbapak pun tidak. Hidup berdua dengan kakak yang aku sayangi, tapi ia telah
pergi meninggalkan aku. Kakakku pergi ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke
Malim Dewa.”
Di sela-sela ratapannya, air matanya terus mengalir, terhimpun segala
kesedihan, Putri Bungsu menangis terisak-isak. “Sampai ke hilir, aku bertemu
Tuntung Kapur yang merampas kain bajuku, yang merampas emas perakku. Aku
dijadikan anak tangga rumah mereka. Ala hai nasib, kini tanpa kesalahan apa pun
aku dibuang ke tengah hutan. Aku dijadikan makanan dari segala binatang di
hutan ini,” putri terus menangis sambil berdendang.
Tiba-tiba ada harimau ke luar dari hutan merasa iba dengan tangisan Putri
Bungsu. “Jangan menangis lagi Putri, aku tidak akan mengganggumu. Sekarang
katakan apa yang kau sedihkan, siapa tahu aku bisa membantu,” kata harimau.
“Hidupku berbeda dengan orang lain. Aku hanya sendiri, tidak ada rumah, tidak
ada saudara, bagaimana aku hidup di bawah pohon?”
“Jangan menangis Putri, aku akan memanggil semua kawan-kawanku,” sahut harimau.
Tiba-tiba segala binatang yang ada di hutan berkumpul, gajah, monyet, babi,
rusa. Berkata gajah, ”Jangan menangis lagi Putri Bungsu, kami akan membuat
rumahmu.”
Kemudian dengan secepat kilat binatang-binatang tersebut telah siap membuat
sebuah rumah untuk Putri Bungsu di atas pohon dengan mahligai yang sangat
indah. Kemudian putri terharu dan menangis lagi. Lagi-lagi dia berfikir
bagaimana dia makan. Jika tidak ada makanan, sia-sia saja dia punya rumah.
Babi mendengar tangisan itu. “Jangan menangis Putri Bungsu. Kami akan
menyediakan usaha untukmu,” kata babi.
Tiba-tiba binatang-binatang itu menggarap tanah. Babi dengan tikus membawakan
biji-bijian untuk ditanam. Akhirnya siaplah sebuah kebun dengan beraneka ragam
isinya, padi, labu, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran.
Lama waktu berselang, hingga padi-padi mulai berbunga. Tiba-tiba datang
masyarakat kampung melintasi hutan dengan niat berburu, karena berburu adalah
hal yang paling disenangi Malim Dewa. Sungguh terkejut mereka melihat di tengah
hutan ada sebuah kebun dengan tanaman yang sangat lengkap.
Sesampainya di hutan, anjing-anjing pemburu yang dibawa tidak tangkas lagi.
Semuanya hanya bisa duduk, menggonggong, dan berjalan berkeliling di sekitar
rumah Putri Bungsu. Malim Dewa semakin heran, tidak pernah ada kejadian serupa
ini. Anjing-anjing mereka adalah anjing terbaik. Tak berlama di situ, akhirnya
mereka pulang. Tapi ada hal yang mengejutkan lagi, anjing-anjing pemburu milik
Malim Dewa tidak pulang. Dia berdiam di dekat tempat tinggal Putri Bungsu.
Besoknya, Malim Dewa punya inisiatif untuk menjemput anjing pemburunya ke
hutan. Takut-takut jika anjingnya dimakan harumau. Ternyata tidak. Anjing Malim
Dewa masih ada tepat di bawah rumah Putri Bungsu. Anjing itu kemudian dibawa
pulang. Namun, anjing malah ingin kembali lagi ke hutan. Dengan alasan itu,
akhirnya Malim Dewa keluar masuk hutan berkali-kali. Dan berkali-kali itu pula
dia melihat ada sebuah rumah di atas pohon dengan mahligai indah. Akhirnya, dia
teringat pernah mengantar pesuruhnya ke hutan ini. Jangan-jangan itulah orang
yang diantarnya dulu. Malim Dewa mulai curiga.
Tiba-tiba dari atas rumah terdengar suara tenun. Malim Dewa mendengar dengan
teliti suara-suara tenun itu. Hingga akhirnya dia yakin bahwa yang berada di
atas pohon itu adalah manusia. Putri Bungsu demikian pula, dia tahu beberapa
hari ini Malim Dewa berada di sekitar rumahnya.
Padi-padi yang mulai menguning mulai didatangi burung-burung. Dari atas
rumahnya, Putri Bungsu menghalau burung dengan nyanyian. “O yayayo, suara
burung, jangan dimakan pulut lengkawi untuk lepat dan tumpi, hajat niat habis
panen ini.”
Nyanyiannya diselingi dengan ketukan tenun yang dimainkannya, hingga bagai ada
alunan musik. Tanpa sadar, Malim Dewa sudah berada sangat lama hanya untuk
sekedar mendengar nyanyian Putri Bungsu. Dia lupa pulang.
Akhirnya dia sadar, baru dia pulang ke kampung. Tapi sesampainya di kampung,
dia kembali mengajak masyarakat kampung untuk berburu rusa putih ke hutan,
sebagai obat penyubur rahim istrinya. Memang itulah permintaan istrinya.
Masyarakat patuh. Berbondong-bondong masyarakat ikut ke hutan mencari rusa
putih yang diperintahkan oleh Malim Dewa, sedangkan Malim Dewa langsung menuju
pelataran rumah Putri Bungsu. Malim Dewa semakin berpikir tentang seseorang
yang ada di atas pohon. Akhirnya ia tanyakan pada teman dekatnya. “Teman, coba
lihat rumah yang ada di atas pohon itu, menurutmu itu manusia biasa atau bukan?
Jika manusia, mengapa rumahnya di atas pohon tanpa ada tangga dan dia hidup
sendiri. Jika memang bukan manusia, aku mendengarnya menyanyi, menenun, dan dia
punya kebun-kebun dan sawah-sawah.”
Terdengar lagi suara Putri Bungsu bernyanyi dari atas rumahnya, sambil
menghalau burung-burung padi. Nyanyian itu diselingi dengan suara burung yang
berkicau, berdialog dengan Putri Bungsu. “Tik, tik, tik, jangan takut hai Putri
Bungsu, aku tidak memakan biji padimu, aku hanya minum di kelopaknya, aku
bermain-main di tangkainya.”
Putri menyahut, ”Beras pulut itu untuk lepat dan tumpi hajat niat habis panen
ini.”
Malim Dewa semakin penasaran. Dia minta seorang temannya untuk mencari tahu
tetang orang di atas pohon. Temannya pun melaksanakan. “Hai, siapa pun yang ada
di atas sana, aku ingin berbicara denganmu. Bolehkah aku naik k e atas
rumahmu?” kata teman Malim Diwa.
“Kalau memang mau naik, naik saja. Tapi bilang, kamu datang dengan siapa?”
sahut suara di atas pohon.
“Aku mau naik sendiri saja, karena aku datang hanya sendiri. Boleh aku naik,
apa kamu hanya sendiri?”
“Naiklah, aku hanya sendiri di sini, tidak ada suami dan tidak ada sesiapa.”
“Bagaimana aku bisa naiki rumahmu, sedang aku tidak melihat ada tangga di
sini,” jawab teman Malim Diwa lagi.
“Itu ada tangga di dekatmu, naiklah.”
“Aku tidak melihatnya, di mana?”
Setelah berbicara seperti itu, barulah terlihat ada tangga yang sangat tinggi.
Ternyata tangganya bukan sembarang tangga. Tangganya tidak bisa dilihat oleh
orang biasa, kecuali atas izin Putri Bungsu.
“Aku ingin naik satu anak tangga saja.”
”Naiklah.”
Pertama memang satu anak tangga yang dinaiki oleh teman Malim Dewa, tapi
kemudian menjadi dua, tiga dan akhirnya sampai ke atas. Akhirnya, dia duduk di
atas rumah putri dengan menggantung kakinya di pintu rumah. “Kamu siapa,
mengapa hidup sendiri di tengah hutan seperti ini?” tanya teman Malim Diwa.
“Nasibku tidak sama seperti orang lain. Aku anak yatim piatu, tak ada ayah tak
ada ibu. Dulu aku hidup berdua dengan kakakku. Tapi sekarang kami berpisah.
Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku Ke Hilir ke Malim Dewa. Di perjalanan,
aku tidak mendengar nasihat kakakku dan aku bertemu dengan Tuntung Kapur yang
jahat. Dia merampas segala pakaianku, emas pirakku. Jadinya, Tuntung Kapur yang
jahat yang dipersunting oleh Raja Malim Dewa, aku hanya dijadikan sebagai
pesuruh, duduk dijadikan anak tangga. Tanpa kesalahan apa pun aku dibuang ke
hutan, hanya Tuhan yang telah memberi pertolongan padaku,” kata Putri Bungsi
bercerita.
“Aku ingin jujur, aku adalah pesuruh Malim Dewa yang diminta untuk mencari tahu
keberadaanmu di sini wahai Putri Bungsu. Sekarang kami diperintahkan mencari
rusa putih oleh raja, sebagai obat istrinya.”
”Bagus itu. Aku tidak pernah minta apa pun seumur hidupku, kecuali yang aku
inginkan satu hal, yaitu aku ingin Tuntung Kapur mengembalikan semua milikku.
Bawa pula jeruk nipis dan cabe yang telah digiling ke dalam satu toples yang
besar, hanya itu saja. Kalau masih ada Tuntung Kapur, aku tidak akan pulang
lagi ke kampung.”
Setelah berdialog cukup lama, teman Malim Dewa kembali membawa kabar tentang
keberadaan orang di atas pohon. Setelah semua cerita tersampaikan, Malim Dewa
jadi terkejut. Mereka bersama-sama pulang kampung.
Keesokan harinya, Malim Dewa datang lagi ke hutan. Kali ini dia datang dengan
membawa barang-barang yang dipesan oleh Putri Bungsu. Sekaligus membawa Tuntung
Kapur. Pada Tuntung Kapur, Malim Dewa sedikit berbohong. Malim Dewa mengatakan,
rusa putih telah ditemukan dan hanya Tuntung Kapur saja yang bisa
menjinakkannya. Berangkatlah Malim Dewa beserta masyarakat dan istrinya ke
hutan.
Sesampainya di hutan, teman Malim Dewa naik terlebih dahulu dan berkata, “Putri
kami telah membawa pesananmu yang kemarin.”
“Kalau memag Tuntung Kapur datang, aku ingin membalaskan dendamku padanya,”
kata Putri Bungsu.
Putri bungsu pun dipertemukan dengan Tuntung Kapur disaksikan oleh masyarakat
dan Malim Dewa. Kemudian putri mengambil kembali segala harta miliknya yang
dipakai oleh Tuntung Kapur. Setelah semua terlepas, Putri Bungsu kemudian
mengiris-iris daging Tuntung Kapur dan memasukkan dagingnya ke dalam toples
cabe dan jeruk nipis, hingga sampai habis daging Tuntung Kapur dipotong-potong
oleh Putri Bungsu. Kemudian toples yang sudah berisi daging itu dikirimkan pada
kedua orang tua Tuntung Kapur.
Saat melihat daging Tuntung Kapur, kedua orang tuanya pingsan hingga meninggal
di tempat. Akhirnya, Malim Dewa dan Putri Bungsu menikah. Pesta meriah
terlaksana hingga akhirnya mereka hidup bahagia.