Tuesday, 22 May 2012

Makalah Tentang PUASA



BAB I

PENDAHULUAN



Puasa dalam pengertian bahasa berasal dari kata SHAUM masdar dari lafal SHOMA yang berarti “menahan”. Menurut istilah, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, nafsu, serta segala yang membatalkan puasa sejak fajar sampai matahari terbenam, sebagaiman afirman Allah SWT :
      “ Maka makanlah dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang             hitam yaitu fajar “ ( QS. Al Baqarah : 187 )
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah SWT telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad SAW. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.

Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu
Ø  Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta.

Ø  Puasa bicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Maryam ayat 26 :
“Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku bernadzar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.
(Q.S. Maryam : 26)

Ø  Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi. Dan puasa-puasa lainnya yang mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh masing-masing kaum tersebut.

Ø  Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan waktu pelaksanaan. Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin, juga tidak terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah menunjukkan keluwesan Islam

Berpuasa pada bulan ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Puasa mulai diwajibkan pada bulan sya’ban tahun kedua hijriyah. Puasa merupakan fardhu a’in bagi setiap mukallaf. Hal ini disetujui oleh semua imam madzab. Sebagaimana firman Allah SWT :
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa” ( QS. Al Baqarah : 183 )

1.2.1   Apakah Puasa itu?
1.2.2  Apakah Saja rukun puasa itu?
1.2.3 Hal-hal apa saja yang dapat membatalkan puasa itu?
1.2.4  Apakah hikmah dari puasa itu ?










                                                                                                                                             

BAB II

PEMBAHASAN


2.1   Pengertian Puasa

Puasa dalam pengertian bahasa berasal dari kata SHAUM masdar dari lafal SHOMA yang berarti “menahan”. Menurut istilah, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, nafsu, serta segala yang membatalkan puasa sejak fajar sampai matahari terbenam, sebagaiman afirman Allah SWT :
      “ Maka makanlah dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang             hitam yaitu fajar “ ( QS. Al Baqarah : 187 )
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah SWT telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad SAW. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.

Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu
Ø  Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta.

Ø  Puasa bicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Maryam ayat 26 :
“Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku bernadzar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.
(Q.S. Maryam : 26)

Ø  Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi. Dan puasa-puasa lainnya yang mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh masing-masing kaum tersebut.

Ø  Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan waktu pelaksanaan. Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin, juga tidak terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah menunjukkan keluwesan Islam

Berpuasa pada bulan ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Puasa mulai diwajibkan pada bulan sya’ban tahun kedua hijriyah. Puasa merupakan fardhu a’in bagi setiap mukallaf. Hal ini disetujui oleh semua imam madzab. Sebagaimana firman Allah SWT :
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa” ( QS. Al Baqoroh : 183 )

2.2  Rukun Puasa


  1. Niat
        NIAT MENURUT BEBERAPA MADZAB :
  1. Menurut Zufar dan Atha’ : puasa ramadlan tidak memerlukan niat dan penegasan niat.
  2. Menurut Malik, Syafi’I dan Ahmad : puasa ramadlan memerlukan penegasan niat (ta’yin )
  3. Menurut Abu Hanifah : puasa ramadlan tidak memerlukan penegasan niat, jadi, kalau seseorang BERNIAT puasa dengan tidak menegaskan ini itu, atau ia berniat puasa sunnat didalam bulan ramadlan maka puasanya dipandang puasa ramadhan.
WAKTU NIAT MENURUT BEBERAPA MADZAB
    1. Menurut Malik, waktu niat puasa ramadlan adalah antara terbenam matahari sampai terbit fajar yang kedua. Begitu juga dengan niat puasa nadzar tertentu. Jika puasanya sunnat maka tidak sah puasanya kalau berniat di siang hari atau sesudah terbit fajar atau tergelincir matahari. Niat hanya cukup dilakukan satu kali saja yaitu pada malam pertama ramadlan asal dia berniat puasa seluruh ramadhan.
    2. Menurut Ahmad, waktu niat puasa ramadlan adalah antara terbenam matahari sampai terbit fajar yang kedua. Begitu juga dengan niat puasa nadzar tertentu. Jika puasanya sunat maka tetap sah kalau niat dilakukan sesudah terbit fajar asal belum tergelincir matahari. Tiap-tiap malam puasa ramadhan memerlukan niat sendiri
    3. Menurtu Abu Hanifah, boleh niat dimalam hari, jika tidak diniatkan dimalam hari, maka masih boleh niat di pagi hari asal belum tergelincir matahari, baik puasa ramadlan atau puasa sunnah. Dan tiap-tiap malam puasa di bulan ramadlan memerlukan niat sendiri.
2.      Menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa.

2.3  Hal-hal Yang Membatalkan Puasa

1.      Makan dan minum dengan sengaja.
-          Orang yang makan karena menyangka matahari telah terbenam atau belum terbit, kemudian ternyata salah maka puasanya tetep syah. Menurut imam empat.

-          Sisa makanan yang tertinggal di gigi lalu tertelan bersama air liur dengan tidak terasa bahwa itu sisa makanan maka puasanya tidak bathal. Hala ini disepakati oleh ulama madzab kecuali Abu Hanifah.
-          Kalau seseorang meneruskan makan, padahal ia telah ragu tentang terbit fajar kemudian nyata memang terbit fajar, maka batal puasanya. Hal ini disepakati ulama madzab dan menurut Malik wajib diqodlo sedangkan menurut Atha’, Daud, Ishak, tidak ada qodlo atasnya.
-          Apabila terbit fajar sedang makanan dalam mulut, lalu terus diludahkan , maka puasaya shah,menurut pendapat jimhur kecuali Malik.
-          Orang yang makan dan minum karena lupa maka tidak rusak puasanya. Hal ini disepakati oleh Abu Hanifah dan Ahmad. Sedangkan menurut Mlik,puasanya bathal dan wajib mengqodlo.
2.      Bersetubuh dengan sengaja di siang hari. Dan jika melakukan ini harus mengqodlo puasanya dan membayar kifarat(denda) yang memiliki tiga tingkatan yaitu :
a.  Memerdekakan hamba sahaya.
b.  Berpuasa dua bulan berturut-turut
c.       Bersedekah dengan makanan yang mengenyangkan kapada 60 fakir miskin ( tiap orang tiga per empat liter).
Orang berpuasa hanya boleh bersetubuh pada malam hari, seperti dalam firman Allah SWT


“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu”(QS.Al Baqarah : 187)
-          Orang yang sedang berpuasa apabila mencampuri istrinya dengan sengaja dan tak ada udzur, maka bathal puasanya dan dikenakan kifarah yang besar yaitu melakukan seluruh kifarah yang telah ditentukan, hal ini disetujui oleh ulama kecuali Maliki, Maliki membolehkan tahyir dengan memberi makan kepada fakir miskin saja.
-          Menurut Hambali, Syafi’I dan Hanafi, kifarat yang diberikan harus tertib
-          Menurut Ahmad, kifarah hanya dikenakan kepada suaminya saja, tapi menurut Abu Hanifah dan Malik, kifarah dikenakan oleh keduanya.
-          Menurut Malik jika seseorang watha’ atau berhubungan selama dua hari, maka kifaratnya juga dua kali, tapi menurut Abu Hanifah kalau belum ia menjalankan kifarat yang pertama, maka kifaratnya hanya satu saja, hal ini berlaku juga jika ia watha’nya sehari dua kali. Menurut Ahmad kalau sudah menjalankan kifarat yang pertama, maka ia harus menjalankan kifarat yang kedua.
-          Menurut ulama madzab, jika wanita yang di watha’ dengan paksa atau dalam tidur, maka rusak puasanya dan lazim di qodlo. Tapi menurut Syafi’I tidak mewajibkan untuk di qodlo. Dan menurut Ahmad wajib membayar kifarat.
-          Menurut Abu Hanifah, apabila terbit fajar sedang seseorang dalam menjima’ istrinya, jika ia terus menghentikannya, maka syah puasanya dan tak ada khafarat, jika diteruskan maka harus mengqodlonya. Menurut Malik jika ia hentikan, maka harus mengqodlo, jika diteruskan maka dikenakan kifarat. Menurut Ahmad, dikenakan qodlo dan kifarat baik dihentikan atau diteruskan



-           
  1. Istimna’ ( mengeluarkan mani ) dengan sengaja
-          Menurut Abu Hanifah, mencium dalam puasa diharamkan jika menimbulkan syahwat, menurut Malik mencium ketika puasa adalah haram baik menimbulka syahwat atau tidak.
-          Menurut Abu Hanifah dan Malik mengeluarkan madzi sesudah mencium tidak membtalkan puasa, tapi menurut Ahmad tetap membatalkan.
-          Menurut Abu Hanifah dan Ahmad, mengeluarkan mani karena memandang tidak membatalkan puasa, sedangkan menurut Malik, puasanya tetep bathal.
-          Menurut pendapat imam empat, orang yang berjunub sampai waktu subuh, shah puasanya walaupun yang baik dia mandi sebelum terbit fajar. Menurut Aby Hurairoh dan Salim ibn Abdullah batal puasanya dan harus berimsak dan qodlo.
  1. Muntah dengan sengaja, menurut Imamiyah, Syafi’I dan Maliki wajib mengqodlonya. Menurut Hanafi puasanya tidak batal jikamuntahnya tidak memenuhi mulut.
  2. Memasukkan sesuatu kedalam tubuh dengan sengaja.Misalnya,disuntik dengan yang cair, kecuali kalau yang disuntik itu dalam keadaan sakit maka puasanya tidak batal
  3. Memutuskan atau membatakan niat puasa
-          Menurut Abu Hanifah dan Maliki niat keluar dari puasa tidak membatalkan puasa
-          Menurut Imamiyah dan Hambali puasanya batal

2.4    Mengqada Atau Mengganti Puasa Ramadan


  1. Mereka sepakat bahwa orang yang diwajibkan mengqodlo hari-hari puasanya yang ditinggalkan pada bulan ramadhan, ia harus mengqodlo puasanya pada tahun ini juga.maksudnya antara ramadhan yang ditinggalkannya dengan ramadhan yang akan dating,kecuali pada hari-hari yang diharamkan puasa.
  2. Orang yang bisa atau mampu melaksanakan qodhonya pada celah-celah tahun itu juga TAPI menyia-nyiakan sampai masuk pada ramadhan berikutnya,maka ia harus tetap berpuasa pada bulan ramadhan pada tahun itu, lalu dia harus mengqodlo yang ditinggalkannya TAPI harus membayar kifarat satu mud setiap hari. Tapi hal ini tidak berlaku bagi orang yang sakit secara terus menerus. Hal ini disepakati oleh empat madzab kecuali Hanafi. Menurut Hanafi, orang tersebut hanya diwajibkan mengqodlo tanpa membayar kifarah. Menurut Imamiyah, orang yang sakit terus menerus, tidak wajib mengqodlo, namun ia diwajibkan membayar kifarah satu mud setiap hari.
  3. Kalau dia mampu mengqodlo pada tahun itu juga, tetapi mengakhirkannya sebelum ramadhan berikutnya dengan tujuan supaya dapat bersambung antara qodlo yang telah lalu dengan ramadhan berikutnya TAPI kemudian ada udzur syara’ yang melarangnya sampai masuk bulan ramadhan maka dia diharuskan i\untuk mengqodlonya saja tanpa harus membayar kifarah.
  4. Menurut Imamiyah, orang yang berbuka puasa ramadhan karena ada udzur, dan dia bisa mengganti puasanya di lain hari, tapi sampai mati dia tidak mengqodlonya, maka bagi anaknya yang tertua wajib mengqodlonya. Tapi menurut pendapat Imam Hanafi, Syafi’i, Hambali, anak yang tertua itu harus menyedekahkan hartanya satu mud setiap hari untuk puasa yang ditinggalkan orang tuanya. Sedangkan menurut Maliki, sang wali harus menyedekahkannya kalau dia berwasiat untuk bersedekah tapi kalau tidak berwasiat, maka ia tidak wajib bersedekah.
  5. Orang yang mengqodlo puasa ramadhan dan mempunyai waktu yang luas, maka ia boleh membatalkan puasanya dan berbuka sebelum tergelincirnya matahari atau sesudahnya. Hal ini disepakati empat madzab. Menurut Imamiyah, ia dibolehkan berbukasebelum tergelincir matahari, tetapi tidak boleh kalau sudah tergelincir, dan dia diwajibkan untuk puasa, kalau sekiranya sudah melewati waktunya lebih banyak dan waktu untuk memperbarui niat telah tiada. Kalau ada yang menyalahi berbuka setelah tergelincir matahari, maka dia wajib membayar kifarah dengan memberi makan kepada sepuluh orang miskain. Kalau tidak mampu maka ia harus berpuasa tiga hari.

2.5  Puasa Yang Disunnahkan

Ø  Puasa enam hari di bulan syawal
Ø  Puasa hari Arafah ( 9 Dzulhijjah), kecuali bagi orang yang sedang mengerjakan haji
Ø  Puasa tanggal 10 Muharrom atau puasa As syura
Ø  Puasa Sya’ban
Ø  Puasa Senin Kamis
Ø  Puasa tengah bulan Qomariyah (13,14,15)
           Puasa-puasa tersebut telah disepakati oleh semua ulama madzab.

2.6  Puasa Yang Di Haramkan

o   Puasa pada hari raya ‘Idul Fitri dan Adha, disepakati ulama madzab kecuali Hanafi. Menurut Hanafi,berpuasa pada dua hari raya tersebut adalah makruh yang diharamkan ( hamper mendekati haram)
o   Puasa pada hari Tasy ri’ ( 11,12,13 Dzulhijjah), baik ketika melaksanakan haji atau tidak., hal ini menurut Imamiyah dan Syafi’i. sedangkan menurut Hambali, hanya diharamkan puasa pada hari tasyrik, selain waktu melaksanakan haji, tapi tidak diharamkan pada waktu melaksanakan haji. Menurut Maliki, puasa pada hari ini ialah makruh mendekati haram. Menurut Maliki, hanya diharamkan pada sebelas dan dua belas Dzulhijjah pada waktu selain haji, tapi tidak diharamkan kalau dalam melaksanakan haji.

2.7  Puasa Yang Dimakruhkan

    1. Dalam buku Al-Fiqhu ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah dijelaskan bahwa yang termasuk puasa yang dimakruhkan adalah berpuasa pada hari Jum’at dan Sabtu, begitu juga hari A nniruz (hari awal tahun Arab).
    2. Menurut pendapat selain Syafi’i tidak boleh puasa pada satu atau dua hari sebelum Ramadhan.

2.8  Kelompok Orang Yang Boleh Meninggalkan Puasa

Kelompok orang yang boleh tidak berpuasa, TETAPI wajib mengqodlo puasanya, yaitu:
1. Orang yang tidak kuat puasa karena sakit dan menurut keterangan dokter justru dengan puasa akan bertambah sakit. Hal ini disepakati oleh semua madzab kecuali Imamiyah. menurut Imamiyah seseorang itu sudah biasa dengan kelemahannya tersebut maka tidak ada alas an baginya untuk berbuka.
2. Orang yang melakukan perjalanan jauh ( 80,640). Dasarnya dalam firman Allah:


“ Maka diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqoroh : 184)
    Menurut ulama perjalanan yang dimaksud adalah perjalanan yang dibolehkan melakukan sholat qoshor dan perjalanan tersebut berangkat sebelum terbit fajar. Namun jika perjalanan itu dilakukan setelah terbit fajar maka tidak dibolehkan berbuka dan jika berbuka maka wajib mengqodlo, tapi tidak perlu membayar kifarah. Syafi’I menambahkan satu syarat lagi, yitu bukan seseorang yang biasa melakukan perjalanan, seperti orang yang mencari penyewa. Menurut Syafi’i, berbuka dalam perjalanan adalah rukhsah, bukan keharusan. Menirut Hanafi, shalat qoshor dalam perjalanan itu merupakan suatu keharusan bukan rukhsah. Menurut Imamiyah, kalau seorang musafir yang sudah memenuhi syarat-syarat melakukan sholat qoshor, dan melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir dan ia tetap berpuasa maka puasanya tidak syah, maka ia wajib mengqodlo dan wajib membayar kifarah. Akan tetapi jika berangkatnya ketika matahari tergelincir atau sesudahnya, maka ia harus tetap berpuasa, dan kalau ia berbuka maka wajib membayar fidyah.
    1. Ibu hamil atau menyusui yang dikhawatirkan akan membahayakan anak atau dirinya. Mengenai kedua orang ini, apabila mereka tidak melaksanakan puasa, memiliki konsekwensi hokum yang berbeda SESUAI niatnya. Jika ia tidak berpuasa karena takut terjadi mudharat pada dirinya sendiri maka WAJIB mengqodlo puasa yang ditinggalkannya. Jika ia tidak berpuasa karena takut terjadi sesuatu pada anaknya saja, maka ia wajib membayar fidyah yaitu, mengeluarkan satu mud (sama dengan 800 gram gandum atau sejenisnya)setiap harinya dan setiap mud diberikan pada satu fakir miskin. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir pada dirinya dan anaknya secara bersamaan, maka ia harus mengqodlo tanpa membayar fidyah. Hal ini menurut Hmbali dan Syafi’i.Hadist Rosulullah :
“ Dari Anas, Rosulullah bersabda : Sesungguhnya Allah telah memafkan setengah salat dari musafir, dan memaafkan pula puasanya dan Dia memberikan kemurahan kepada wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui “

Menurut Hanafi, tidak diwajibkan secara mutlak. Sedang menurut Maliki, hanya diwajibkan bagi wanita yang menyusui, bukan yang hamil. Menurut Imamiyah, kalau wanita yang saat kelahiran sudah dekat dan membahayakan dirinya bila berpuasa, atau membahayakan anak yang sedang disusuinya, maka ia harus berbuka dan tidak boleh berpuasa, karena yang membahayakan itu diharamkan. Wanita yang khawatir membahayakan anaknya harus mengqodlo dan membayar fidyah satu mud, tapi kalau khawatir membahayakan dirinya,ulama Malikiyah berbeda pendapat, ada yang mewajibkan mengqodlo saja dan ada yang harus mewajibkan mengqodlo dan membayar fidyah.
d.      Orang yang sedang Haid. Hal ini disepakati oleh semua madzab.
Kelompok orang yang boleh tidak berpuasa dan tidak wajib mengqodlo, tetapi membayar fidyah, yaitu :
1.      orang tua yang sudah lemah dan tidak sanggup berpuasa karena usianya maupun karena fisiknya yang tidak memungkinkan lagi. Ia boleh tidak puasa tetapi wajib membayar fidyah sebanyak tiga perempat liter setiap hari berupa makanan yang mengenyangkan sebagai shodaqoh kepada fakir miskin. Firman Allah :
“ Dan wajib bagi kamu orang-orang yang berat menjalankanya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah,yaitu memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqoroh :184).
2.      Pekerja berat, boleh tidak berpuasa dengan kewajiban membayar fidyah.Mengenai pekerjaan berat ini memang tidak ada ketentuan hukum yang jelas dan pasti baik dalam Al- Qur’an ataupun Hadist.Sekalipun demikian, kebolehan ini di qiyaskan kepada diperbolehkannya untuk tidak puasa bagi orang yang sedang berperang. Mereka ini pada hakikatnya juga berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya.

2.9   Ketetapan Hilal

  1. Menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, bila hilal telah nampak pada suatu daerah,maka seluruh penduduk berbagai daerah wajib berpuasa, tanpa membedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan hilal.
  2. Menurut Imamiyah dan Syafi’I, kalau penduduk sustu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya berbeda maka setiap daerah mempunyai hukum khusus.

2.10   Hikmah Puasa

Diwajibkannya puasa atas umat Islam mempunyai hikmah yang dalam. Yakni merealisasikan ketaqwaan kepada Allah SWT. sebagaimana yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 183 :
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa”.
Kadar taqwa tersebut terefleksi dalam tingkah laku, yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Al-Baqarah ayat 185 :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ {185}

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) bulan tersebut, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Ayat ini menjelaskan alasan yang melatarbelakangi mengapa puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, tidak di bulan yang lain. Allah mengisyaratkan hikmah puasa bulan Ramadhan, yaitu karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan yang diistimewakan Allah dengan menurunkan kenikmatan terbesar di dalamnya, yaitu Al-Qur’an al-Karim yang akan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus. Ramadhan juga merupakan pengobat hati, rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan sebagai pembersih hati serta penenang jiwa raga. Inilah nikmat terbesar dan teragung. Maka wajib bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat tiap pagi dan sore.
Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhan?
Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini dilandaskan pada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah :
“Hari ini adalah hari Asyura’, dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya”.
Sedangkan madzhab Hanafi mempunyai pendapat lain : bahwa puasa yang diwajibkan pertama kali atas umat Islam adalah puasa Asyura’. Setelah datang Ramadhan Asyura’ dirombak (mansukh). Madzhab ini mengambil dalil haditsnya Ibn Umar dan Aisyah ra. : “Diriwayatkan dari Ibn ‘Amr ra. bahwa Nabi SAW. telah berpuasa hari Asyura’ dan memerintahkannya (kepada umatnya) untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadhan maka lantas puasa Asyura’ beliau tinggalkan, Abdullah (Ibnu ‘Amr) juga tidak berpuasa”. (H.R. Bukhari)
“Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura’ pada masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura’ sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Dan Rasul berkata, barang siapa ingin berpuasa Asyura’ silahkan berpuasa, jika tidak juga tidak apa-apa”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah biasa melakukan puasa Asyura’ sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura’), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan menyerukan ke umatnya untuk melakukan puasa itu.
Hal ini sesuai dengan wahyu secara mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad yang tidak hanya berdasar hadits Ahaad (hadits yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang).
Ibn Abbas ra. meriwayatkan : “Ketika Nabi SAW sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura’, lalu beliau bertanya : (puasa) apa ini? Mereka menjawab : ini adalah hari Nabi Saleh as., hari dimana Allah SWT memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa as. melakukan puasa pada hari itu. Lalu Nabi SAW berkata : aku lebih berhak atas Musa dari pada kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebut dan memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa”. (H.R. Bukhari)
Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, sebagaimana madzhab Abi Hanifah, kewajiban puasa Asyura’ terombak (mansukh). Sedang menurut madzhab lainnya, kewajiban puasa Ramadhan itu hanya merombak kesunatan puasa Asyura’.
Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma.
“Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar, bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : Islam berdiri atas lima pilar, kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah (Makkah) dan berpuasa di bulan Ramadhan”.
Kata ‘al-haj’ (haji) didahulukan sebelum kata ‘al-shaum’ (puasa), itu menunjukkan pelaksanaan haji lebih banyak menuntut pengorbanan waktu dan harta. Sedang dalam riwayat lain, kata ‘al-shaum’ didahulukan, karena kewajiban puasa lebih merata (bisa dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam) dari pada haji.
Kewajiban puasa Ramadhan sangat terang. Barang siapa yang mengingkari atau mengabaikan keberadaannya dia termasuk orang kafir, kecuali mereka yang hidup pada zaman Islam masih baru atau orang yang hidup jauh dari ulama.

2.11        MANFAAT PUASA
Puasa memiliki beberapa manfaat, ditinjau dari segi kejiwaan, sosial dan kesehatan, di antaranya:
Ø  Beberapa manfaat, puasa secara kejiwaan adalah puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, mengajari dan membantu bagaimana menguasai diri, serta mewujudkan dan membentuk ketaqwaan yang kokoh dalam diri, yang ini merupakan hikmah puasa yang paling utama.
Firman Allah Ta ‘ala :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. ” (Al-Baqarah: 183)

Sebagaimana ia juga menjaga masyarakat dari kejahatan dan kerusakan.
Ø  Sedang di antara manfaat puasa ditinjau dari segi kesehatan adalah membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukan dan kelebihan lemak di perut.
Ø   Termasuk manfaat puasa adalah mematahkan nafsu. Karena berlebihan, balk dalam makan maupun minum serta menggauli isteri, bisa mendorong nafsu berbuat kejahatan, enggan mensyukuri nikmat serta mengakibatkan kelengahan.
Ø  Di antara manfaatnya juga adalah mengosongkan hati hanya untuk berfikir dan berdzikir. Sebaliknya, jika berbagai nafsu syahwat itu dituruti maka bisa mengeraskan dan membutakan hati, selanjutnya menghalangi hati untuk berdzikir dan berfikir, sehingga membuatnya lengah. Berbeda halnya jika perut kosong dari makanan dan minuman, akan menyebabkan hati bercahaya dan lunak, kekerasan hati sirna, untuk kemudian semata-mata dimanfaatkan untuk berdzikir dan berfikir.
Ø   Orang kaya menjadi tahu seberapa nikmat Allah atas dirinya. Allah mengaruniainya nikmat tak terhingga, pada saat yang sama banyak orang-orang miskin yang tak mendapatkan sisa-sisa makanan, minuman dan tidak pula menikah. Dengan terhalangnya dia dari menikmati hal-hal tersebut pada saat-saat tertentu, serta rasa berat yang ia hadapi karenanya. Keadaan itu akan mengingatkannya kepada orang-orang yang sama sekali tak dapat menikmatinya. Ini akan mengharuskannya mensyukuri nikmat Allah atas dirinya berupa serba kecukupan, juga akan menjadikannya berbelas kasih kepada saudaranya yang memerlukan, dan mendorongnya untuk membantu mereka.
Ø  Termasuk manfaat puasa adalah mempersempit jalan aliran darah yang merupakan jalan setan pada diri anak Adam. Karena setan masuk kepada anak Adam melalui jalan aliran darah. Dengan berpuasa, maka dia aman dari gangguan setan, kekuatan nafsu syahwat dan kemarahan. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai benteng untuk menghalangi nafsu syahwat nikah, sehingga beliau memerintah orang yang belum mampu menikah dengan berpuasa ( Lihat kitab Larhaa’iful Ma’aarif, oleh Ibnu Rajab, hlm. 163) sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).

2.12 Keutamaan Puasa

Puasa merupakan salah satu amalan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala yang mana Allah menjanjikan keutamaan dan manfaat yang besar bagi yang mengamalkannya,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إلا الصِيَامَ. فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ. فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَصْخَبْ وَلا يَجْهَلْ. فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ – وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ. لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ رِيْحِ المِسْك. وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ. وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah ia berkata-kata keji, dan janganlah berteriak-teriak, dan janganlah berperilaku dengan perilakunya orang-orang jahil, apabila seseorang mencelanya atau menzaliminya maka hendaknya ia mengatakan: Sesungguhnya saya sedang berpuasa (dua kali), demi Yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat dari wangi kesturi, dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yang ia berbahagia dengan keduanya, yakni ketika ia berbuka ia berbahagia dengan buka puasanya dan ketika berjumpa dengan Rabbnya ia berbahagia dengan puasanya.” (HR Bukhari, Muslim dan yang lainnya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا يَصُوْمُ عَبْدٌ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ الله. إلا بَاعَدَ اللهُ، بِذَلِكَ اليَوْمِ، وَجْهَهُ عَنِ النَارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً.
“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka (dengan puasa itu) sejauh 70 tahun jarak perjalanan.” (HR. Bukhari Muslim dan yang lainnya)
Sebagaimana jenis ibadah lainnya maka puasa haruslah didasari niat yang benar yakni beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata-mata serta dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Secara Syar’i makna puasa adalah “menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta segala sesuatu yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala” ,
Maka jika seseorang menahan diri dari makan dan minum tidak sebagaimana pengertian di atas atau menyelisihi dari apa yang menjadi tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tentu saja ini merupakan hal yang menyimpang dari syariat, termasuk perbuatan yang sia-sia dan bahkan bisa jadi mendatangkan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abu Az Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Shaum itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali).
Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum lebih harum di sisi Allah Ta’ala dari pada harumnya minyak misik, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku.
Puasa perisai api neraka
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ وَهُوَ الْحِزَامِيُّ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab dan Qutaibah bin Sa’id keduanya berkata, Telah menceritakan kepada kami Al Mughirah Al Hizami dari Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa adalah perisai (yang akan melindungi seseorang dari api neraka).”
Hadis riwayat Imam Muslim dalam sahihnya no hadis 1943
Ar rayyan untuk orang yang berpuasa
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ عَنْ سَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Mukhallad telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal berkata, telah menceritakan kepada saya Abu Hazim dari Sahal radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Ar-Rayyan, yang pada hari qiyamat tidak akan ada orang yang masuk ke surga melewati pintu itu kecuali para shaimun (orang-orang yang berpuasa).
Tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut selain mereka. Lalu dikatakan kepada mereka; Mana para shaimun, maka para shaimun berdiri menghadap. Tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut selain mereka. Apabila mereka telah masuk semuanya, maka pintu itu ditutup dan tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut”.
Hadis riwayat Imam Muslim dalam Sahihnya no hadis 1763.









BAB III

 PENUTUP


3.1  Kesimpulan

Demikian makalah tentang puasa yang dapat kami paparkan. Sebagai umat Islam yang bertaqwa sudah selayaknya kita menjalankan syariat yang telah ditetapkan, salah satunya ibadah puasa. Puasa memberikan manfaat yang besar kepada kita, yaitu:
    1. Mendidik manusia untuk berbudi pekerti yang luhur dan terpuji
    2. Dapat melatih kesabaran, kejujuran dan kedisiplinan
    3. Menanamkan rasa toleransi dan persaudaraan diantara sesama manusia
    4. Akan terhindar dari gangguan pencernaan karena dengan puasa justru akan menjadi sehat.

3.2  Saran

Adapun perbedaan-perbedaan yang terjadi mengenai puasa,tidak selayaknya kita jadikan alasan untuk tidak melakukan puasa. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat kita jadikan sebagai bahan perbandingan, yang kemudian kita cocokkan dengan hati kita masing-masing, dan dengan penuh kemantapan kita jalankan sesuai dengan yang kita yakini kebenarannya.










DAFTAR PUSTAKA


Jawad Mughniyah, Muhammad. 2006. Fiqih Lima Madzab. Jakarta: Lentera
Zuhri, Muh., Dpl. Tafl, dkk. 1994. Fiqih Madzab Empat. Semarang: Adhi Grafika
Febri23.wordpress.com/2010/08/15/contoh-makalah-puasa/